Postingan

Sinau Falsafah Jawa: Ambeg Utama Andhap Asor

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Jawa dikenal sebagai masyarakat dengan nilai-nilai kearifan lokal tinggi, yang meliputi berbagai aspek kehidupan seperti adat, ritual, spiritual, hingga karya seni. Kearifan lokal Jawa ini memberikan nilai-nilai penting untuk panduan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal atau local wisdom atau biasa juga disebut local genius adalah satu istilah untuk nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal, yang tetap bertahan, dan relevan sepanjang zaman.  Kearifan lokal suatu masyarakat tertentu sudah ada di dalam kehidupan masyarakat tersebut semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini. Kearifan lokal dasarnya adalah pengetahuan dan kecerdasan lokal, bersumber dari nilai nilai agama, adat istiadat, petuah moyang budaya setempat yang beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu bentuk kearifan Jawa yang masih relevan dengan perkembangan zaman adalah pitutur Ambeg Utama Andhap Asor, yang menjadi panduan etika pergaulan masyara...

Sinau Falsafah Jawa: Sapa Salah Seleh

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno  "Wong kang bener mesti jejer, sapa salah (bakal) seleh." Pitutur luhur tersebut, hampir pasti diketahui oleh mayoritas masyarakat Jawa. Para leluhur telah meletakkan pondasi etik, bahwa orang Jawa harus mampu membedakan hal yang benar dan salah, mana tindakan yang patut dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Kebenaran dan kesalahan seperti minyak dan air, jelas pembatas yang memisahkannya. Wong kang bener mesti jejer, sapa salah (bakal) seleh. Jika diterjemahkan: barang siapa berbuat baik dengan benar niscaya dia akan tegak. Barang siapa berbuat salah dengan cara apa pun pasti dia akan runtuh. Dalam kehidupan sosial, pitutur sapa salah seleh, menjadi ruh budaya jujur bagi masyarakat Jawa. Jika ditelisik dengan kondisi kekinian, pitutur sapa salah seleh, setidaknya memiliki beberapa makna etik, sikap kehati-hatian, dan keadilan. Pertama, sebagai tuntunan etik. Sapa salah seleh, dimaknai sebagai ajaran untuk mengendalikan diri dan berbuat sesuai deng...

Sinau Falsafah Jawa: Becik Ala Ketara

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno  "Sekar Pangkur kang Winarna, Lelabuhan kang kanggo wong ngaurip, Ala lan becik puniku, Prayoga kawruhana, Adat waton punika dipun kadulu, Miwah ingkang tatakrama, Den kaesthi siang ratri." Sekar Macapat pangkur ini bagi saya sangat familiar. Dulu sering disenandungkan Simbah, saat beliau masih sugeng. Saat usia kelas 2 SD, Sekar Macapat ini kembali diajarkan Pak Suhadi, guru yang juga seorang dalang. Walhasil, sekar ini meresap dalam jiwa hingga saat ini. Mungkin bukan sebuah kebetulan. Saat SMP, guru bahasa daerah, Ibu Ari, lagi-lagi melantunkan tembang ini, saat mengajarkan makna ajaran hidup 'Becik Ketitik Ala Ketara." Sekar Pangkur di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kurang lebih sebagai berikut: "Tembang Pangkur yang dinasihatkan, Pegangan yang berguna untuk orang hidup, Jelek dan baik itu, Sebaiknya kamu ketahui, Adat istiadat itu hendaknya dilaksanakan, Juga yang berupa tata krama, Dilaksanakan siang dan malam." Sekar Macap...

Sinau Falsafah Jawa: Rasa Rumangsa

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno Rasa Rumangsa menjadi kata kunci memahami sifat kejiwaan orang Jawa. Rasa Rumangsa merupakan cermin dan pedoman bagi orang Jawa mengukur diri, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Rasa Rumangsa menjadi alat internal, menjadi sensor, dan penapisan bagi orang Jawa, bahwa dirinya bukan orang yang sempurna. Dengan demikian, rasa Rumangsa menuntun orang Jawa bijak, mulat salira menemukan jati diri, bahwa dirinya dan orang lain diciptakan unik oleh Gusti Pangeran, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ini pada akhirnya mengantarkan manusia Jawa bersikap mawas diri. Dalam kehidupan keseharian, sikap mawas diri mewujud dalam nandhing salira. Orang Jawa dituntut memiliki kemampuan membandingkan kelebihan dan kekurangan dirinya terhadap orang lain, agar tidak selalu merasa unggul dan lebih baik dari orang lain. Dalam paribasan Jawa dikenal dengan pitutur luhur, aja dumeh. Selanjutnya, orang Jawa di manapun berada juga selalu ngukur diri. Artinya, oran...

Inovasi Lembaga Penyiaran di Era Digital

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno REVOLUSI industri dengan perkembangan teknologi informasi yang luar biasa, berdampak pada media dan/atau lembaga penyiaran. Kecepatan informasi, membuat sebagian besar pengguna lembaga penyiaran bermigrasi ke media sosial. Pada tahun 2024, GoodStats mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212.9 juta orang, atau 77% dari total populasi 276.4 juta. Sebanyak 167 juta pengguna media sosial aktif, yang merupakan 60.4% dari total populasi. Platform media sosial yang paling populer adalah WhatsApp (90,9%), diikuti oleh Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), dan TikTok (73,5%). Selanjutnya disusul Telegram (61,3%), X (57,5%). Jumlah pengguna aktif media sosial terus meningkat, dengan pertumbuhan sekitar 12,6% pada tahun 2024. Terdapat peningkatan sebesar 21 juta pengguna aktif dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Data penggunaan media TV di Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa meski masih memiliki penetrasi yang tinggi, terjadi penurunan jumlah penont...

Di Kampungku, Drag Race jadi Ukuran Kemajuan

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno   Usai acara balabe di rumah Om Uchen, Tonakodi dan teman-temannya tidak segera beranjak. Mereka masih berbincang, sekadar untuk menurunkan makanan dan minuman yang diasup setelah baca doa. Perbincangan yang awalnya seputar kebahagian Om Uchen yang bakal menimang cucu pertamanya, tak terasa bergeser ke persoalan sosial. Uly menyentil standar kemajuan sebuah daerah. Kemajuan dan kesejahteraan selalu menjadi obralan kandidat saat pemilihan kepala daerah. Faktanya, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan, ketimpangan antarwilayah terus menjadi persoalan yang tak kunjung selesai, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. “Tidak akan pernah selesai, kalau standar kemajuan selalu diubah. Di kampung saya, standar kemajuan malah diukur dari drag race. Menurut panitia, drag race menjadi salah satu indikator atau simbol kemajuan daerah. Aneh, tapi menarik didiskusikan,” ujar Uly. “Bisa saja seperti itu Ka Uly. Tapi itu bukan standar umum...

Memuji tanpa Batas

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Libur akhir pekan, biasanya Tonakodi mengisi hari dengan mendaras buku atau silaturahmi dengan kawan seperbincangan. Hari ini agak berbeda. Tonakodi mengunjungi seorang kyai kampung, imam sebuah musala di desa sebelah. Bagi banyak orang, kyai itu dipandang biasa saja. Di mata Tonakodi, ia seorang alim yang ikhlas menjaga tauhid dan iman warga. Dialah kyai yang sesungguhnya. Di usia tua, pak kyai tetap mengajar mengaji anak-anak, menjaga tradisi tahlil, dan salawatan. Menjaga kumandang asma Allah tanpa berharap anggaran pemerintah, cukup mengandalkan hasil ternak ayam kampung dan sepetak kebun. Pak kyai juga tidak mengerti dunia digital. Ia tidak memopulerkan dirinya lewat media sosial, layaknya ustaz dadakan. Pak Kyai juga bukan sosok yang berteriak lantang, mengampanyekan dirinya sebagai orang yang harus dihormati, karena ilmu atau silsilah nenek moyang. Pak Kyai beribadah dalam senyap. Pak Kyai sepertinya mengamalkan prinsip Inna salati wanusuki wama...