Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

Puisi-Jalan Keselamatan

Oleh: Temu Sutrisno Duhai Guru Aku yang fakir pengetahuan Aku yang tanpa kebijaksanaan Tak pantas dapat puja Duhai Guru Engkaulah jalan bimbingan Aku yang buta Tak mampu membaca tanda Aku yang tuli Tak mampu mendengar kata Terus berjalan Meraba dalam kegelapan Menurutkan hati Mencari jalan pulang Hanya berharap Berpegang tangan Sang Guru Sejati Yang penuh Kasih Sayang Menuntun langkah Kembali ke relung hati Tempat kebenaran bersemayam Keselamatanku Hanya bergantung pada rahmatmu Kemuliaanku Hanya karena ridhamu Kebahagiaanku Saat melihat senyummu Guru. *** Tana Kaili, 28 Des 2019

Puisi-Berebut Tuhan

Oleh: Temu Sutrisno     Jika kalian merasa paling benar Ambil dunia dan isinya Jika kalian merasa paling beriman Ku ikhlaskan surga untuk kalian Aku tak peduli Surga kalian kuasai Aku tak peduli Neraka kau beri Aku tak peduli Kalian kangkangi dunia Kalian kapling surga Jika itu membuat kalian bahagia Hanya aku minta Jangan klaim Tuhan milik kalian semata Tuhan bukan bahan kaplingan Tuhan tak pantas diperebutkan Tuhan Raja Semesta Alam Kasihnya tak terbilang Sayangnya tak terbayang Ambil Kuasai dunia dan isinya Ambil Patoklah surga yang kalian agungkan Kunci rapat pintunya Biarkan yang lain tak kebagian Aku tak peduli Biarkan aku sendiri Cukup bagiku bersama Tuhan. ***   Palu, 24 Desember 2019    

Puisi-Purnama Sekejap Mata

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno     Senja di cakrawala Jingga merona Gelap memaksa Terang masuk peraduan malam Matahari tak lagi perkasa Meredup lembut Pasrah pada Sang Kala Bulan di ujung sana Tersenyum malu menyapa Bertutur indah bak pujangga Bulan di ujung sana Meneguhkan rupa Indah Anggun tuk dipuja Bulan di ujung sana Dia hanya sementara Meminjam sinar sang surya Para pemuja Mabuk diatas cinta Terperangkap indahnya purnama Para pemuja Lupa relung hitap Gelap dingin Di balik purnama Mereka terkesima Lembut tutur kata Senyum manis menggoda Para pemuja purnama Hanyut tan sadar Sinar gemerlap memanjakan mata Purnama Hanya sekekap menjelma Diantara temaram Di balik gelap gulita Para pemuja Mabuk terbuai purnama Lupa cahaya tak selamanya Purnama penuh kegelapan Tanpa cahaya Dingin gulita di baliknya Para pemuja Terperangkap Terpenjara Dalam ketidakabad

Puisi-Selamat Jalan Habibie

Oleh: Temu Sutrisno   Kemarin Aku masih meluruskan Simpang siur berita duka Kemarin Aku turut serta Mengoreksi kabar engkau telah tiada Kemarin Aku masih kampanye di sosial media Hoaks bukan keadaban manusia Menyebar kabar Tanpa konfirmasi Tanpa klarifikasi Tanpa validasi Benar salah tak peduli Abai Semua abai tabayyun perintah ilahi Kebohongan menyeruak Meruntuhkan iman Menggerus peradaban Petang ini Lepas maghrib jelang isya’ Kabar duka kembali mengemuka Kali ini putramu langsung bicara Menyampaikan pada khalayak Engkau telah tiada Sontak aku hanya bisa menitip doa Terbang Terbanglah tinggi Memeluk Sang Kuasa Hari ini Cinta ilahi Melebih cinta anak bangsa Selamat jalan Habibie Engkau telah mematri Mimpi anak negeri Terbang melampaui angan Engkau akan selalu dikenang Pembuka kran kebebasan Pendobrak pintu kejumudan Engkau yang selalu berfikir besar Berkarya untuk kemajuan Selamat jalan Habibie

Puisi-Rindu Biru Lembah Palu

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno     Tiga windu berlalu Aku masih rasakan Kagum atas indahmu Saat itu Pegunungan biru Tersenyum menyambut   tamu Dingin air gemercik tenang melaju Bermuara bening di Teluk Palu Tiga windu berlalu Pegunungan indah itu Luluh lantak Diterjang deru Mesin penghancur batu Sejuk udara berganti debu Kuala kering Tanpa gemercik merdu Tiga windu berlalu Kini aku merindu Ingin kembali menatap Pegunungan nan biru Sungai beriak Air mengalir di antara batu Teluk tenang menyentuh kalbu Tiga windu berlalu Entah siapa memulai Menggali dan terus menggali Entah siapa punya kuasa Membiarkan pegunungan menghasilkan debu Kini aku merindu Hanya bisa menunggu Alam mengambil kembali haknya Mengguggat keserakahan manusia. ***   Tana Kaili, 15 Desember 2019  

Puisi-Meninggalkan Rakyat

Oleh: Temu Sutrisno Aku duduk termangu Di tengah ruangan Bangunan indah Dalam sergapan dingin buatan Saat semua bicara rakyat Atas nama dan kepentingan rakyat Berfikir Merekayasa masa depan rakyat Aku duduk termangu Sesekali menengok kanan kiri Balik badan ke belakang Tidak ada rakyat Tidak ada wakil rakyat Benarkah kita bicara rakyat? Atau kita memang rakyat? Aku masih terus termangu Menahan pendingin ruangan Pengatur suhu yang tidak ramah lingkungan Aku termangu Tidak ada rakyat di sini Birokrat itu Konsultan itu Bicara dengan diri sendiri Berfikir mengukur badan sendiri Oh tidak Sejenak aku terhenyak Aku memang rakyat Aku bukan penguasa Bukan birokrat Aku bukan pejabat kantoran Perpanjangan tangan kekuasaan Biarkan aku bicara Dalam dekapan dingin Menembus tulang Karena aku memang rakyat Rakyat sesungguhnya rakyat.*** Tana Kaili, 27 November 2019

Lebih

 Oleh: Temu Sutrisno MERCUSUAR-Ada ungkapan di Texas Amerika Serikat, “anjing paling mungil mengonggong paling keras”. Ungkapan ini dimaknai, bahwa seseorang yang baik tidak perlu membuktikan, ia lebih baik. Semaikin gencar dia mengatakan dirinya lebih baik, lebih kaya, lebih cantik, lebih berani, lebih pintar, dan lebih lebih yang lain, hal itu menunjukkan jika dirinya bukan seperti itu. Ungkapan Texas itu sepertinya klop dengan kisah hidup Charles Bukowski, seorang novelis masyhur. Tiga puluh tahun, Bukowski terjebak pada kehidupan yang menurut sebagian besar orang, buruk. Ia nyaris tidak bisa menghasilkan karya, karena selalui dihantui mimpi untuk lebih baik, lebih kreatif, lebih inovatif, dan lebih yang lain-dalam makna positif dan moralitas masyarakat. Tiga puluh tahun ia bergulat dengan pikiran, untuk menjadi orang lain. Sampai akhirnya ia sadar, tetap harus berkarya dengan menjadi diri sendiri. Hingga akhirnya lahir enam novel dan ratusan puisi yang terjual lebih dua j