Lebih


 Oleh: Temu Sutrisno


MERCUSUAR-Ada ungkapan di Texas Amerika Serikat, “anjing paling mungil mengonggong paling keras”. Ungkapan ini dimaknai, bahwa seseorang yang baik tidak perlu membuktikan, ia lebih baik. Semaikin gencar dia mengatakan dirinya lebih baik, lebih kaya, lebih cantik, lebih berani, lebih pintar, dan lebih lebih yang lain, hal itu menunjukkan jika dirinya bukan seperti itu.
Ungkapan Texas itu sepertinya klop dengan kisah hidup Charles Bukowski, seorang novelis masyhur. Tiga puluh tahun, Bukowski terjebak pada kehidupan yang menurut sebagian besar orang, buruk. Ia nyaris tidak bisa menghasilkan karya, karena selalui dihantui mimpi untuk lebih baik, lebih kreatif, lebih inovatif, dan lebih yang lain-dalam makna positif dan moralitas masyarakat. Tiga puluh tahun ia bergulat dengan pikiran, untuk menjadi orang lain. Sampai akhirnya ia sadar, tetap harus berkarya dengan menjadi diri sendiri. Hingga akhirnya lahir enam novel dan ratusan puisi yang terjual lebih dua juta kopi.
Di Indonesia, narasi Lebih, muncul bukan hanya di iklan-iklan televisi atau platform media lainnya.Lebih, juga menjadi kata pilihan setiap iven politik baik skala nasional maupun lokal. Mudah dilihat dan dicari faktanya, hampir semua media kampanye mulai dari baliho, banner, spanduk, stiker, kartu nama, dan kaos seorang kandidat, selalu mengampanyekan kata Lebih.
Kandidat mulai membumbui kata Lebih, dengan kata lainnya seperti Lebih Baik, Lebih Hebat, Lebih Dahsyat, Lebih Kuat, Lebih Teruji, Lebih Berani, Lebih Adil, Lebih Makmur, Lebih Sejahtera, dan lebih yang lainnya.
Bisa jadi tawaran para kandidat, tidak menggambarkan yang sebenarnya, seperti ungkapan Texas tadi. Diksi Lebih baik, sejatinya tidak benar-benar menggambarkan dirinya yang lebih baik. Lebih adil, tidak membuktikan bahwa kondisi sebenarnya bukan tidak ada keadilan. Ketidakadilan hanya dipersepsi kandidat, sebagai bahan kampanye semata. Demikian juga Lebih yang lainnya. Anjing mungil menggonggong besar, untuk mengubah persepsi bahwa dia anjing besar. Faktanya, ia tetap anjing yang mungil.
Ungkapan anjing mungil dan Charles Bukowski, menjadi pelajaran tepat untuk masyarakat dalam berbagai iven politik. Lihat dan cermati kandidat apa adanya, rekam jejak, dan karyanya menjadi satu dua alasan memilih.
Tagline di media kampanye dan janji-janji politik, bukan jaminan bagi kandidat untuk melaksanakannya kelak setelah terpilih. Apatah lagi, jika janji-janji politik dan kampanye sekadar dimaksudkan memengaruhi persepsi laiknya gonggongan besar anjing mungil. Jangan terkecoh dengan gonggongannya, karena gonggongan tidak menunjukkan besar kecilnya anjing. Demikian, pepatah Texas. ***


Palu, 12 Desember 2019
(Terbit di Kolom Tonakodi Mercusuar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM