Pitutur Luhur: Netas, Nitis, Netes

Oleh: Temu Sutrisno

(Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah)

 


Pernah mendengar pitutur luhur Netas, Nitis, Netes?  Walaupun pitutur ini terasa asing bagi sebagian besar orang, namun mengandung makna mendalam yang sangat relevan dengan kehidupan modern saat ini.

Meski terdengar singkat, ungkapan ini mengajarkan kita tentang siklus kehidupan manusia dari lahir hingga mewariskan nilai kehidupan. Pertama, Netas artinya menetas atau lahir ke dunia. Ibarat telur yang menetas, ini adalah simbol dari kelahiran manusia. Dalam filosofi Jawa, netas berarti awal kehidupan, di mana seseorang datang ke dunia membawa jiwa yang bersih dan penuh harapan. Anak yang lahir ibarat kertas putih, siap menerima goresan-goresan kehidupan.

Makna ini mengingatkan kita untuk menyambut kehidupan dengan niat yang baik, menjaga kesucian hati, dan menyadari bahwa hidup adalah anugerah dari Tuhan. Peran orang tua sangat penting. Orang tua bukan hanya membawa anak ke dunia (netas), tapi memiliki tanggung jawab pertama dan utama untuk menyambut dan merawatnya. Orang tualah yang mulai menuliskan nilai, kasih sayang, dan arah hidup anak. Peran orang tua di sini adalah menciptakan lingkungan yang sehat, penuh cinta, dan aman bagi anak-anak untuk bertumbuh secara fisik, emosional, dan spiritual.

Kedua, Nitis berarti roh atau jiwa yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dalam budaya Jawa, dipercaya bahwa kehidupan bukan sekadar badan, tapi juga ada unsur ruh atau jiwa. Jiwa ini bisa saja membawa nilai-nilai dari leluhur, kebijaksanaan, atau bahkan unsur spiritual dari Tuhan.

Nitis mengajarkan bahwa manusia tidak hidup sendiri. Kita terhubung dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari orang tua, leluhur, dan ajaran kebaikan. Hidup bukan hanya tentang jasad, tetapi juga tentang menjalankan misi jiwa yang lebih tinggi.

Pada tahap Nitis, orang tua berperan menanamkan nilai-nilai spiritual, moral, dan budaya ke dalam diri anak. Bukan hanya memberi makan dan pendidikan, tetapi juga menuntun jiwa anak agar tumbuh selaras dengan kebaikan dan kebijaksanaan.

Ini bisa dilakukan lewat contoh sehari-hari seperti sikap jujur, rendah hati, hormat kepada orang lain, dan rajin beribadah. Orang tua menjadi cermin yang akan ditiru anak. Jiwa dan sikap orang tua bisa ‘menitis’ ke dalam hati anak tanpa banyak kata.

Ketiga, Netes artinya menetes atau menghasilkan sesuatu. Dalam konteks manusia, netes berarti mewariskan nilai-nilai kehidupan kepada keturunan atau lingkungan. Tidak hanya dalam bentuk anak cucu, tetapi juga melalui sikap, ilmu, kebaikan, dan ajaran hidup.

Netes mengajak kita untuk tidak hidup hanya untuk diri sendiri. Setelah kita lahir (netas), hidup (nitis), maka kita perlu memberi makna pada hidup, dengan meninggalkan nilai dan perilaku kebaikan yang bisa dirasakan orang lain.

Melalui pitutur  ini, leluhur Jawa mengajak untuk menjalani hidup dengan sadar, bertanggung jawab, dan penuh makna. Sebab, hidup bukan soal hari ini saja, tapi juga soal apa yang kita tinggalkan setelah kita tiada.

RELEVANSI DENGAN ERA KEKINIAN

Meskipun pitutur Netas, Nitis, Netes berasal dari ajaran leluhur, nilainya tetap sangat relevan di zaman sekarang. Bahkan bisa menjadi pegangan hidup di tengah perkembangan budaya digital yang bergerak cepat dan serba instan.

Di masa kini, banyak anak muda tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan penuh tantangan. Netas mengingatkan kita, bahwa setiap anak lahir membawa harapan baru. Mereka perlu dibimbing dan diberi ruang untuk berkembang secara utuh, bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga punya karakter yang baik. Ini penting agar generasi sekarang tumbuh sebagai pribadi yang kuat, tangguh, dan berakhlak.

Di era digital dan perkembangan teknologi, informasi mudah didapat, tapi nilai moral dan spiritual sering terlupakan. Nitis mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga menyerap nilai-nilai kebaikan, baik dari orang tua, guru, dan lingkungan yang bersumber dari akar budaya dan ajaran agama. Kehidupan era digital harus diwarnai nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari budaya dan agama. Hanya dengan demikian, kemanusiaan kita tidak tergerogoti pikiran dan perilaku robotik.

Dengan Nitis, kita belajar bahwa hidup harus dijalani dengan hati nurani dan tanggung jawab, bukan sekadar ikut arus.

Saat orang cenderung ingin hasil cepat dan instan, Netes mengajarkan bahwa hidup sejati adalah saat kita bisa meninggalkan jejak kebaikan, sekecil apapun. Kebaikan itu dapat berupa ilmu, etika, etos kerja, sikap jujur, dan beragam keteladanan di tengah masyarakat.

Bagi orang bijak, warisan terbaik bukan harta, tapi nilai hidup yang baik, yang terus menetes ke generasi berikutnya. Sebuah nilai yang menjadi jariyah setelah kita tiada dan kembali kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan.

Pada akhirnya, Netas, Nitis, Netes mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan yang harus dijalani dengan kesadaran. Meski dunia terus berubah, manusia tetap butuh akar nilai yang kuat agar tidak mudah goyah oleh zaman. Dengan memahami dan menerapkan pitutur ini, kita bisa menjadi pribadi yang lebih utuh, yang lahir membawa harapan, hidup membawa makna, dan meninggalkan kebaikan bagi dunia. Wallahualam bishawab. ***

 

Tana Kaili, 29 Juli 2025

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)