Setop Menjadikan Hukum Instrumen Politik Kekuasaan
Oleh: Temu Sutrisno
Dalam sistem hukum yang ideal, keadilan dan penegakan hukum seharusnya menjadi prioritas utama. Namun, kita melihat hukum dijadikan sebagai instrumen politik kekuasaan, yang dapat mengarah pada ketidakadilan dan diskriminasi, serta mengabaikan kesetaraan.
Salah satu contoh nyata dari hal ini adalah pemberian abolisi dan amnesti Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Kewenangan konstitusional Presiden ini menjadi kontroversial karena dapat dianggap sebagai bentuk kekuasaan politik yang tidak berorientasi pada keadilan.
Abolisi dan amnesti adalah dua konsep hukum pemberian pengampunan atau pembebasan dari hukuman. Namun, pemberian abolisi dan amnesti harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan transparan, karena dapat memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat dan penegakan hukum.
Hari ini, di tengah ratusan ribu orang mendekam di tahanan dan ribuan lainnya berjuang menuntut keadilan, Presiden tiba-tiba mengeluarkan abolisi dan amnesti bagi pelaku kejahatan luar biasa, korupsi.
Wajar jika banyak masyarakat memandang pemberian abolisi dan amnesti kali ini dianggap sebagai bentuk kekuasaan politik yang tidak berorientasi pada keadilan. Hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan dan diskriminasi, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses atau pengaruh politik yang sama.
Pemberian abolisi dan amnesti, meski secara yuridis berada dalam koridor kewenangan konstitusional presiden, menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen negara dalam menegakkan prinsip keadilan dan pemberantasan korupsi.
Pengampunan dan penghapusan proses hukum sebelum adanya putusan inkrah hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum yang adil dan setara.
Dalam negara hukum yang demokratis, prinsip kesetaraan di hadapan hukum merupakan pilar utama. Ketika prinsip tersebut tergantikan oleh kalkulasi politik, legitimasi hukum itu sendiri menjadi lemah. Hukum tidak lagi tegak lurus dengan keadilan, sebaliknya mudah dibelokkan sebagai instrumen kompromi kekuasaan.
Pemberian abolisi dan amnesti harus didasarkan pada prinsip keadilan yang setara bagi semua orang. Setiap keputusan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dan penegakan hukum yang adil. Tidak boleh ada diskriminasi atau preferensi berdasarkan status sosial, politik, atau ekonomi.
Untuk memastikan bahwa pemberian abolisi dan amnesti dilakukan dengan adil dan transparan, perlu ada mekanisme akuntabilitas yang kuat. Ini dapat meliputi proses evaluasi yang independen, transparansi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi aktif dari masyarakat sipil.
Kita tentu menghormati keputusan Presiden yang sah secara konstitusional. Namun tidak keliru jika mengkritisi dan terus menyuarakan getar keadilan bagi banyak orang, terutama mereka yang tidak memiliki akses ke politik kekuasaan.
Ke depan, pemberian abolisi dan amnesti, juga grasi dan rehabilitasi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan transparan, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dan penegakan hukum yang adil.
Hukum harus dijadikan sebagai alat keadilan, bukan instrumen politik kekuasaan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa keadilan dan penegakan hukum menjadi prioritas utama dalam sistem hukum kita.*/TMU
Komentar
Posting Komentar