Pitutur Luhur: Ngunduh Wohing Pakarti

 Oleh: Temu Sutrisno

(Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah)




Pada dasarnya setiap manusia cenderung kepada kebaikan. Meski demikian, baik dan buruk sering silih berganti menghampiri kehidupan manusia. 

Agar setiap anak manusia selalu ingat dengan kesadaran terdalam terhadap kecenderungan jiwa kepada kebaikan, para leluhur menitip pesan melalui pitutur luhur Ngunduh wohing pakarti.

Secara harfiah, pitutur ini berasal dari kata Ngunduh yang berarti memanen, memetik, memperoleh hasil. Woh berarti buah, dan Pakarti adalah perbuatan. Dengan demikian Ngunduh Wohing Pakarti dapat dimaknai, memetik buah dari perbuatan.

Jadi, secara harfiah artinya adalah "memetik buah dari perbuatan", yang berarti setiap tindakan atau perbuatan seseorang akan berbuah atau berakibat, entah itu baik atau buruk, tergantung dari apa yang ditanam (dilakukan) sebelumnya.

Perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan, dan perbuatan buruk akan membawa akibat yang buruk pula. Hidup itu seperti menanam. Jika kita menanam kebaikan, kita akan menuai kebaikan.

Pitutur ini bukan sekadar pepatah biasa, melainkan cerminan dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi hukum sebab-akibat dalam tindakan manusia. Dalam setiap kata yang disusun, terkandung filosofi mendalam tentang karma, tanggung jawab, dan kesadaran moral.

Dalam budaya Jawa, makna ngunduh wohing pakarti bukan sekadar hasil dari satu perbuatan, melainkan keseluruhan sikap hidup dan akumulasi nilai-nilai moral yang dijalani seseorang. Perbuatan kecil sekalipun dianggap sebagai investasi nilai yang pada waktunya akan kembali kepada pelaku.

Falsafah Jawa meyakini bahwa alam dan manusia hidup dalam harmoni. Tindakan manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap alam, akan memengaruhi keseimbangan semesta. Maka dari itu, manusia dituntut untuk eling lan waspada (ingat dan waspada), agar tidak sembrono dalam berkata, bertindak, dan berpikir.

Implikasi Sosial dan Moral

Pitutur luhur Ngunduh wohing pakarti, mengandung nilai pendidikan moral yang kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa diajarkan untuk:

Pertama, bertindak dengan penuh pertimbangan, tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Kedua, bersikap jujur dan welas asih, karena perbuatan baik tidak akan sia-sia, dan Ketiga, menerima akibat dari perbuatan sendiri dengan legawa (ikhlas), sebagai bagian dari tanggung jawab moral.

Dalam sistem sosial Jawa yang menjunjung tinggi etika sopan santun, pitutur ini juga menjadi pengendali sosial. Misalnya, seseorang yang suka menipu atau menyakiti orang lain akan dianggap sedang tumindak ala (berbuat tidak baik) dan masyarakat meyakini bahwa suatu hari nanti ia akan ngunduh wohing pakarti berupa kesulitan atau penderitaan.

Relevansi dalam Kehidupan Modern

Meskipun pitutur ini berasal dari budaya Jawa masa lalu, nilai-nilainya tetap relevan dalam kehidupan modern dan bersifat universal.

Nilai pitutur ini dalam dunia kerja, seperti profesionalisme, kejujuran, dan kerja keras akan membuahkan kepercayaan dan kesuksesan.

Demikian halnya dalam hubungan sosial, kepekaan terhadap sesama dan empati akan membangun hubungan yang harmonis.

Kita juga dapat melihat betapa pentingnya pitutur ini dalam konteks hukum dan keadilan sosial. Orang yang melakukan korupsi, meskipun sempat menikmati hasilnya, suatu saat akan menghadapi konsekuensi hukum maupun sosial.

Contoh praktis dari pitutur luhur ini, seorang anak yang sejak kecil diajari nilai kesopanan dan tanggung jawab, ketika dewasa tumbuh menjadi pribadi yang disukai dan dihormati orang banyak.

Sebaliknya, seseorang yang semena-mena terhadap orang lain, suatu hari bisa merasakan perlakuan yang sama dari orang lain, bahkan dari anak-anaknya.

Pitutur ini pada akhirnya, bukan hanya menjadi pijakan bertindak personal, namun juga landasan kehidupan sosial yang dipenuhi dengan nilai kebaikan. Wallahu alam bishawab. ***



Tana Kaili, 20 Juli 2025


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)