Mendung di Langit Hukum

Oleh: Temu Sutrisno 





Subuh belum jauh beranjak. Matahari menggeliat di ujung timur. Semburat sinar mengintip dari peraduan, siap mengisi perputaran waktu menyambut hari.

Tonakodi masih bersimpuh di atas sajadah, saat salam seseorang terucap dari balik pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Tonakodi, beringsut dari sajadah, membuka pintu menyambut tamu di pagi penuh berkah.

Nampak dua anak muda, tersenyum menyapa. Tonakodi tersenyum balik. Ia cukup mengenal dua mahasiswa itu, Elang dan Perkasa.

"Te apa pagi-pagi datang ba carita le, Tonakodi? Tidak ba ganggu?" tanya Elang. 

"Tidak, tidak. Saya malah bersyukur Allah menggerakkan hati kalian kemari. Semoga subuh menjadi pintu keberkahan untuk kita semua," ucap Tonakodi seraya mengajak Elang dan Perkasa menuju dego-dego tua di bawah pohon Talise, di samping rumah.

Setelah basa basi saling bertanya kabar, Elang tiba-tiba membuka perbincangan yang cukup serius. Bagaimana tidak, Tonakodi yang biasanya akrab dengan isu harga cabai disuguhi isu abolisi dan amnesti untuk sosok yang diduga terlibat kasus korupsi.

"Ini tidak adil. Ini kebijakan yang tidak bijak," kata Elang semangat.

Energi aktivisnya pagi itu bergolak di depan Tonakodi.

"Kalau mau adil, berikan juga untuk pelaku pidana lainnya. Banyak orang, karena terpaksa mempertahankan hidup harus melanggar hukum, karena miskin mereka mencuri, karena negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja ada yang terpaksa melakukan pekerjaan yang dilarang," tambah perkasa tak kalah semangat.

"Jangan hanya untuk orang tertentu, hanya mereka yang punya nama besar, afiliasi politik kekuasaan, atau mereka yang berkantong tebal diberi pengampunan. Rakyat kecil dipaksa mengemis grasi dan mengakui kesalahan. Rakyat tanpa uang, tidak punya relasi kekuasaan terpaksa rela dikurung badan. Negara, pemerintah tak mau tahu bagaimana keluarga yang di luar tahanan beradu nasib, sekadar bertahan bisa makan."

Elang dan Perkasa menggelontorkan uneg-uneg keadilan silih berganti 

Tonakodi kalem mendengar 'orasi' Elang dan Perkasa. 

"Bagaimana Tonakodi? Apakah abolisi dan amnesti tidak timpang? Ini dapat jadi preseden buruk, ke depan siapapun yang punya uang dan relasi politik kekuasaan atau didukung tokoh tertentu, sangat mudah mendapat pengampunan," kata Perkasa.

Tonakodi pamit sejenak ke dalam rumah, menyeduh kopi.

Tak sampai dua menit, Tonakodi kembali dengan talam berisi tiga cangkir kopi berteman pisang rebus.

"Bukankah amnesti dan abolisi hak prerogatif kepala negara? Apa yang keliru dari penggunaan hak istimewa konstitusional itu?" tanya Tonakodi.

"Tidak ada yang salah. Itu hak kepala negara," ucap Elang.

"Cuma menurut kami, cara menggunakan hak itu yang menciderai keadilan."

"Maksudnya?" pancing Tonakodi.

"Hari ini kepala negara memberi amnesti. Lihat, partai orang yang diberi amnesti langsung menyatakan dukungan penuh. Hari ini kepala negara-yang juga kepala pemerintahan, memberi abolisi. Kaum oposan teman-teman yang diberi abolisi langsung angkat topi dan bertepuk tangan. Nampak ke permukaan, hak ini lebih politis daripada pendekatan hukum. Sekadar mengamankan jalannya pemerintahan," sergah Perkasa.

"Lho, bukannya memang hak istimewa kepala negara sifatnya politis? Toh dewan perwakilan rakyat juga setuju. Demikian juga saat ada pemberian grasi dan rehabilitasi, tentu sudah mendapat pandangan hukum dari mahkamah agung. Artinya prosedur kenegaraan telah ditempuh dan semua setuju," timpal Tonakodi.

"Pertanyaannya, kenapa banyak rakyat kecil yang dikerangkeng tidak diampuni? Dewan perwakilan rakyat mewakili rakyat yang mana? Mahkamah agung menegakkan keadilan untuk siapa? Lihat berapa banyak orang yang mengolah lahan sendiri ditangkap, karena pemerintah memberi izin pengusaha. Berapa banyak orang dicap preman dan digelandang ke tahanan, karena mencari uang kecil untuk makan keluarga hari itu," jiwa aktivis Elang dan Perkasa makin membumbung.

"Bukannya ada juga ribuan orang yang menerima amnesti saat bersamaan?" tanya Tonakodi.

"Seribu dibanding dua ratus ribu lebih tahanan, relatif kecil. Bisa jadi itu dilakukan untuk mengaburkan maksud terselubung membebaskan orang tertentu. Seakan-akan amnesti dan abolisi bentuk keadilan untuk semua orang," sahut Elang.

Berusaha memahami perspektif Elang dan Perkasa sebagai aktivis, Tonakodi mengingatkan bahwa keadilan tidak selalu adil. 

Tonakodi sepakat dengan Elang dan Perkasa, dalam beberapa kasus, orang yang memiliki kekuasaan atau sumber daya mungkin dapat menghindari hukuman atau mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pengaruh politik, ekonomi, atau sosial.

"Sistem hukum tidak selalu sempurna dan dapat memiliki kelemahan atau bias. Hal tersebut dapat menyebabkan orang yang memiliki kekuasaan atau sumber daya dapat memanfaatkan kelemahan tersebut untuk menghindari hukuman. Bahasa orang umum, mereka bisa mendapatkan keistimewaan, bahkan memainkan hukum," kata Tonakodi.

Seringkali, lanjut Tonakodi, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat juga menyebabkan orang yang memiliki kekuasaan atau sumber daya dapat menghindari hukuman. 

Rakyat tidak dapat dibohongi lagi, sergah Elang.

Hukum dapat dipengaruhi politik, ekonomi, dan kedudukan sosial seseorang.  Ujungnya menyebabkan orang yang memiliki kekuasaan atau sumber daya memiliki keuntungan dalam proses keadilan.

Tonakodi mengangguk.

Matahari sepenggalah naik. Kicau gelatik mengingatkan, betapa Tuhan Yang Maha Besar sangat adil dan bijak. Menyandarkan keadilan semata-mata pada manusia bakal berujung kecewa.

Masuk waktu dhuha, kedua aktivis muda Elang dan Perkasa pamit. Tonakodi pagi itu bersyukur masih ada generasi muda peduli keadilan dan masa depan bangsa. 

Hari terasa cerah, meski mendung menggelayut di langit hukum. Keadilan belum sepenuhnya adil.***



Tana Kaili, 1 Agustus 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)