Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2025

Arsitektur Etika Publik di Era Digital

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Selasa (11/11/2025), seorang kawan, mantan aktivis HMI, menghubungi saya. Ia menyampaikan rencana undangan dari adik-adik mahasiswa UIN Palu, untuk menjadi pemantik dalam agenda FORKOMNAS KPI Wilayah 5 bertema “Arsitektur Etika Publik: Menggagas Regulasi Penyiaran dan Komunikasi Digital yang Berpihak pada Toleransi dan Kewarasan.”  Tema yang membuat saya langsung berhenti sejenak. Topik etika digital sejak beberapa tahun terakhir benar-benar menyita perhatian saya. Sayangnya, jadwal mengharuskan saya berada di luar daerah pada hari pelaksanaan. Saya menawarkan untuk hadir via Zoom, tetapi hingga hari H tidak ada kabar lanjutan. Meski tidak bertemu langsung, saya tetap merasa perlu menitipkan beberapa catatan yang menurut saya sebagai arsitektur etika publik, sebuah kerangka nilai yang makin mendesak untuk dipikirkan di tengah dunia digital yang tumbuh cepat namun kerap kehilangan orientasi. Ledakan Ruang Publik Digital Dalam sepuluh tahun terakhir, ruang publik ...

Wajah Bopeng Negeriku

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno  Bopeng. Ya, kata bopeng sepertinya tepat untuk menggambarkan wajah daerah ini. Jika kita tidak nyaman dengan wajah penuh gurat tidak karuan karena jerawat, seperti itulah wajah negeri ini. Untuk kesekian kalinya, saya menitikkan air mata dan mengelus dada, istighfar pada Ilahi Rabbi. Betapa indahnya daerah ini terlihat dari angkasa, jika "bekas jerawat" tidak terus menerus dibiakkan pelaku tambang dan pemegang tampuk pemerintahan. Belum lagi ulah pemburu kepengan yang menerobos aturan, para pelaku tambang ilegal. Atas nama investasi dan cerita pendapatan daerah, pertumbuhan ekonomi, pundi-pundi per kapita melambung tinggi, hutan dibabat, bukit diluluhlantakkan, perut bumi digali, pantai tercemari. Alam tak lagi nyaman. Indahnya negeri, bermetamorfosa menjadi wajah bopeng yang setiap saat mengancam: Bencana. Siapa diuntungkan? Hanya segelintir orang. Tapi ratusan ribu orang lainnya, dipaksa siap siaga menghadapi bencana yang datang tanpa aba-aba. Entah be...

Keagungan Cinta Sinta

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno/ Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah    Di taman Ashoka, udara pagi berembus lembut membawa aroma bunga yang mekar di antara reranting. Burung-burung kecil bersahutan, seolah menyapa Sinta yang duduk termenung di atas batu besar yang agak lempang. Rambutnya terurai lembut diterpa angin, matanya menatap jauh ke arah langit, seakan mencari bayang Sang Rama yang entah di mana kini berkelana, mencari keberadaannya. Taman Ashoka sejatinya adalah surga kecil di negeri Alengka. Dedaunan hijau, kolam bening, dan bunga berwarna-warni memenuhi setiap sudutnya. Namun bagi Sinta, taman itu adalah penjara indah , t empat di mana cinta dan kerinduan menjadi satu kesenyapan yang menyiksa. Trijata, putri Wibisana, berjalan pelan menghampiri. Tangannya membawa mangkuk kecil berisi air bunga, dan seikat buah segar dari kebun istana. “Dewi Sinta,” ucapnya lembut, “tolonglah dirimu. Sudah tiga hari engkau hanya meneguk embun pagi. Tubuhmu le...

Dursala; Cinta di Antara Angkara

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno / Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah  Sejak kecil, Dewi Dursala atau biasa disebut Dursilawati, selalu merasa dirinya berbeda. Ia adalah satu-satunya perempuan di antara seratus Kurawa yang memenuhi istana Hastinapura dengan suara keras dan langkah-langkah penuh keangkuhan. Seratus laki-laki, seratus jiwa yang dibesarkan dalam api kebencian dan ambisi. Namun Dursala tumbuh dengan hati lembut, penuh kasih seperti ibunya, Dewi Gendari. Ia sering duduk di taman istana, memandangi kolam teratai yang tenang memantulkan langit sore. “Ibu,” tanyanya suatu hari, “mengapa Kakak-kakakku begitu mudah marah? Mengapa mereka senang bertengkar dengan para Pandawa?” Dewi Gendari tersenyum kecil, menatap ke arah suara anaknya dengan mata yang tak lagi melihat dunia. “Karena, mereka belajar dari dunia yang keras, bukan dari hati yang lembut. Mereka diajari untuk menang, bukan untuk memahami, Nak." Nama pamannya, Sangkuni, menjadi bayangan yang selalu...

Pers dalam Moderasi Beragama

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno   Kamis pagi, langit kota tampak cerah setelah semalam diguyur hujan. Udara masih sejuk ketika Tonakodi berjalan cepat menuju gedung kecil stasiun radio . Ia mengenakan batik cokelat muda dan membawa buku kecil lusuh berisi beberapa catatan. Di pintu depan, Adi, sang penyiar muda yang selalu ceria, bersama pengarah acara Ruth Damayanti sudah menunggu dengan senyum ramah. “Selamat pagi! Wah, akhirnya bisa hadir juga di studio kami,” sambut Adi sambil menyalami tangan tamunya erat. “Pagi, Adi. Senang sekali bisa berbincang di sini. Topiknya menarik, ya: moderasi beragama di era demokrasi digital. ” Adi mengangguk. “Betul, Pak. Isu yang selalu hangat, apalagi jika sudah masuk area politik. Kita ingin menampilkan sisi yang mendinginkan, bukan memanaskan.” Beberapa menit kemudian, para narasumber lain tiba . Ustaz Munif dari FKUB, Pak Salam dari Kementerian Agama, dan Pak Muhammad Nur, seorang akademisi yang dikenal aktif dalam kegiatan masyarak...

Fotografi di Ruang Publik

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Senin pagi, suasana agak mendung. Waktu dhuha telah lewat, tapi udara masih lembut dan aroma tanah basah menambah kenikmatan bagi siapa pun yang duduk di kantor profesi itu. Di lantai dua , tempat biasa orang datang untuk sekadar menyeruput kopi sambil berdiskusi ringan, sudah berkumpul beberapa orang. Om Uchen duduk santai dengan cangkir kopi hitam di tangan. Di sebelahnya, Ami sedang membuka laptop, sementara Iwan dan Om Rusli memperdebatkan hasil pertandingan bola semalam. Suara tawa bersahutan di antara aroma kopi yang baru diseduh. Tak lama berselang, Rifki datang. Di belakangnya, ada tiga anak muda, masing-masing menenteng kamera digital dan tripod kecil. Wajah mereka tampak antusias tapi juga agak canggung. “Tonakodi, bagaimana menurut komiu le soal fotografer jalanan yang kini jadi pembahasan di hampir seluruh media sosial?” kata Rifki sambil meletakkan tasnya. Tonakodi yang sejak tadi duduk di pojok ruangan menatap Rifki dengan senyum samar. Ia baru...