Pers dalam Moderasi Beragama
Oleh: Temu Sutrisno
Kamis pagi, langit kota tampak cerah setelah semalam diguyur hujan. Udara masih sejuk ketika Tonakodi berjalan cepat menuju gedung kecil stasiun radio. Ia mengenakan batik cokelat muda dan membawa buku kecil lusuh berisi beberapa catatan. Di pintu depan, Adi, sang penyiar muda yang selalu ceria, bersama pengarah acara Ruth Damayanti sudah menunggu dengan senyum ramah.
“Selamat
pagi! Wah, akhirnya bisa hadir juga di studio kami,” sambut Adi sambil
menyalami tangan tamunya erat.
“Pagi, Adi.
Senang sekali bisa berbincang di sini. Topiknya menarik, ya: moderasi
beragama di era demokrasi digital.”
Adi
mengangguk. “Betul, Pak. Isu yang selalu hangat,
apalagi jika sudah masuk area politik.
Kita ingin menampilkan sisi yang mendinginkan, bukan memanaskan.”
Beberapa
menit kemudian, para narasumber lain tiba. Ustaz Munif dari FKUB, Pak Salam dari
Kementerian Agama, dan Pak Muhammad Nur, seorang akademisi yang dikenal aktif dalam kegiatan masyarakat. Mereka semua duduk di ruang
siaran, dikelilingi dinding kedap suara dan mikrofon yang siap merekam setiap
kata.
Lampu merah
bertuliskan ON AIR menyala.
Adi membuka acara dengan suara hangatnya.
“Selamat pagi, pendengar setia. Hari ini kita
akan berbincang santai tapi penting: Moderasi Beragama di Era Demokrasi Digital.
Telah hadir bersama kita empat narasumber luar biasa. Langsung saja, saya ke Tonakodi
dulu. Bagaimana Bapak melihat peran media dalam
moderasi beragama di zaman serba digital ini?”
Tonakodi
menghela napas kecil, lalu menatap Adi dan rekan lainnya.
“Baik. Assalamualaikum, salam sejahtera untuk seluruh
nara sumber dan pendengar di mana pun berada,
di era demokrasi digital, media menjadi arena utama pertukaran gagasan,
ideologi, dan nilai-nilai sosial. Namun, derasnya arus informasi sering kali
menimbulkan polarisasi, terutama saat isu agama bersinggungan dengan politik.
Di sini, pers punya peran strategis sebagai penyeimbang dan penjaga
rasionalitas publik. Pers harus menegakkan nilai toleransi, keadilan, dan
persatuan dalam kebinekaan.”
Ustaz Munif
menimpali dengan lembut, “Benar sekali. Moderasi beragama itu intinya memahami
dan mengamalkan ajaran agama secara seimbang. Prinsipnya meliputi keadilan,
toleransi, musyawarah, ketaatan pada hukum, serta cinta tanah air dan
kemanusiaan. Kalau semua pihak mau memegang ini, perbedaan pandangan tidak akan
menjadi sumber perpecahan.”
Adi
tersenyum dan memutar arah pembicaraan. “Tapi, Ustaz, bagaimana dengan media
sosial yang sekarang jadi panggung utama masyarakat? Semua orang seakan-akan bisa jadi “wartawan”, tapi tidak semua paham dan berpijak pada etika jurnalistik.”
Pak Nur
menanggapi, suaranya tenang namun tegas. “Itulah tantangan besar kita. Arus
informasi di media sosial begitu cepat dan sulit diverifikasi. Banyak yang
sekadar berbagi tanpa membaca tuntas, apalagi mengecek kebenarannya. Akibatnya,
berita hoaks dan ujaran kebencian mudah menyebar, terutama yang membawa
sentimen agama.”
Pak Salam
menimpali sambil membuka catatan di tangannya. “Dalam situasi seperti itu,
peran pers sangat penting. Pers yang profesional harus menjadi pengendali isu
agar agama tidak diseret ke dalam kepentingan politik. Ia juga harus menjadi
mediator dan moderator informasi. Artinya, memberikan ruang bagi semua pihak
berbicara secara proporsional dan imparsial. Tidak berpihak pada kebencian,
tapi pada kebenaran.”
Adi terlihat
semakin antusias. “Lalu, bagaimana cara konkret agar pers bisa memperkuat
moderasi beragama?” tanyanya.
Tonakodi
mengambil giliran lagi. Ia menyusun kalimatnya dengan hati-hati.
“Sebelum
saya jawab itu, perlu saya sampaikan, bahwa ada media pers da nada media
nonpers. Media pers tentu terikat pada kode etik jurnalistik. Tapi platform
media sosial, tidak ada etika yang secara khsusus mengatur itu. Biasanya yang
banyak menyebar hoaks dan disinformasi adalah media sosial.”
“Menjawab
pertayaan tadi, pertama pers atau media
dapat membangun jurnalisme damai. Berita keagamaan sebaiknya
tidak hanya informatif, tapi juga solutif. Hindari diksi provokatif, dan
utamakan rekonsiliasi sosial.”
Kedua, mengarusutamakan
narasi moderat. Media harus memberi ruang bagi tokoh lintas
agama, akademisi, dan pegiat dialog antariman untuk menyampaikan pesan
toleransi.
Ketiga, edukasi literasi digital.
Masyarakat perlu diajarkan cara memilah informasi, memahami konteks berita, dan
tidak mudah terjebak disinformasi.
Keempat, kemitraan dengan lembaga keagamaan dan
pendidikan.
Pers bisa berkolaborasi dengan Kemenag, kampus, atau komunitas lintas iman.
“Selanjutnya, pers menegakkan etika jurnalistik berbasis nilai
kebangsaan. Pemberitaan harus berjiwa keadilan dan
persatuan. Lebih dari itu, pers hendaknya berdiri di atas nilai kemanusiaan.”
Suasana studio terasa hangat. Masing-masing
peserta tampak sepakat bahwa peran media kini jauh melampaui sekadar penyampai
informasi. Ia adalah penuntun arah moral publik.
Ustaz Munif
tersenyum bijak. “Kalau saya menambahkan sedikit,” ujarnya pelan, “agama tidak
pernah mengajarkan kebencian. Justru, agama menjadi cahaya dalam gelapnya hati
manusia. Tapi cahaya itu bisa redup kalau dibungkus oleh kepentingan politik
dan ego kelompok. Maka, pers yang jujur adalah lentera yang membantu kita
melihat kebenaran tanpa kabut.”
Semua hening
sesaat. Kata-kata Ustaz Munif seakan menembus ke ruang-ruang hati para
pendengar di luar sana.
“Pers
harus menjadi penjaga nalar publik,” tambah Tonakodi.
Adi kemudian
menutup acara dengan nada reflektif.
“Pendengar yang budiman, perbincangan pagi
ini memberi kita banyak pelajaran. Bahwa moderasi beragama bukan hanya urusan
tokoh agama atau pemerintah. Ini tanggung jawab kita bersama, terutama mereka yang bekerja di dunia media.
Mari kita jadikan media bukan medan perpecahan, tapi ruang perjumpaan yang menyatukan.”
Lampu ON AIR perlahan padam. Siaran
selesai. Namun, obrolan belum benar-benar usai. Di luar studio, mereka
melanjutkan diskusi sambil menyeruput kopi hitam di warung kecil seberang
jalan.
Pak Nur menatap
Adi. “Lucu juga ya, dulu kita berpikir teknologi
akan membuat manusia semakin bijak. Tapi ternyata, tanpa kedewasaan, justru
yang muncul adalah kegaduhan.”
Tonakodi
tertawa kecil. “Ya, tapi saya tetap optimistis. Selama masih ada orang-orang yang mau
berdialog seperti hari ini, masih ada harapan. Moderasi itu seperti menanam
pohon, tumbuhnya pelan tapi akarnya kuat.”
Pak Salam
menambahkan, “Betul, dan pers adalah tanah tempat pohon
itu tumbuh. Kalau tanahnya subur, artinya
sehat, beretika, berpihak pada kebenaran, maka pohonnya akan rindang.”
Ustaz Munif
meneguk kopinya. “Bayang-bayang pohon itu,” katanya
sambil tersenyum, “akan menaungi semua orang, tanpa memandang suku, agama, atau
warna kulit.”
Mereka
terdiam, menikmati kehangatan pagi yang kini mulai diterangi sinar matahari. Di
tengah hiruk-pikuk dunia digital yang sering gaduh, pertemuan kecil di ruang
radio itu menghadirkan secercah harapan, bahwa di balik layar dan suara, masih ada
niat tulus untuk menjaga kebersamaan dalam perbedaan.
Bagi
Tonakodi, siaran pagi itu bukan sekadar tugas. Ia merasa seperti baru saja
menulis satu bab kecil dalam perjalanan bangsa menuju kedewasaan berpikir.
“Selama pers
tetap berpihak pada kemanusiaan,” gumamnya pelan sebelum beranjak, “agama akan
selalu menjadi sumber kedamaian.”
Dan pagi
itu, langit yang biru seolah ikut mengamini.***
Palu, 6
November 2025

Komentar
Posting Komentar