Keagungan Cinta Sinta

Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah 

 

Di taman Ashoka, udara pagi berembus lembut membawa aroma bunga yang mekar di antara reranting. Burung-burung kecil bersahutan, seolah menyapa Sinta yang duduk termenung di atas batu besar yang agak lempang. Rambutnya terurai lembut diterpa angin, matanya menatap jauh ke arah langit, seakan mencari bayang Sang Rama yang entah di mana kini berkelana, mencari keberadaannya.

Taman Ashoka sejatinya adalah surga kecil di negeri Alengka. Dedaunan hijau, kolam bening, dan bunga berwarna-warni memenuhi setiap sudutnya. Namun bagi Sinta, taman itu adalah penjara indah, tempat di mana cinta dan kerinduan menjadi satu kesenyapan yang menyiksa.

Trijata, putri Wibisana, berjalan pelan menghampiri. Tangannya membawa mangkuk kecil berisi air bunga, dan seikat buah segar dari kebun istana.

“Dewi Sinta,” ucapnya lembut, “tolonglah dirimu. Sudah tiga hari engkau hanya meneguk embun pagi. Tubuhmu lemah. Bagaimana jika Sang Rama datang dan melihatmu seperti ini?”

Sinta menoleh perlahan, senyum tipis terlukis di wajahnya yang pucat.

“Trijata, aku tidak ingin menodai cinta kami dengan menerima jamuan dari Alengka. Aku masih merasa tangan Rahwana ada di setiap hidangan yang disuguhkan.”

Trijata menunduk. Ia tahu betapa keras hati wanita di depannya. Tapi di balik keteguhan itu, ada luka dalam yang tak dapat diobati oleh siapa pun.

Dari kejauhan, langkah berat terdengar. Derap kaki penjaga, diikuti suara lembut tapi menggetarkan bumi. Rahwana datang. Maharaja Alengka itu berjalan dengan jubah hitam berkilau sulam emas, matanya menyala seperti bara api yang terbungkus kesedihan. Di belakangnya, para raksasa dan raksasi pelayan membungkuk penuh hormat.

Trijata segera menyingkir ke balik tirai, bergabung dengan para pengawal perempuan. Hanya Sinta yang tetap diam di tempat, memunggungi sang raja.

Rahwana berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia menatap punggung Sinta dengan pandangan yang campur aduk, antara cinta, amarah, dan kehancuran.

“Hai Sinta,” suaranya berat, mengalun dalam keheningan taman. “Kaulah wujud Dewi Widyawati, penjelmaan cinta yang membuatku gila. Lihatlah diriku, wahai pujaan hati. Aku, Rahwana, Maharaja Alengka, pemilik tujuh lautan dan gunung-gunung, bersujud di bawah kakimu. Aku serahkan seluruh jiwaku dan kekayaanku untukmu. Jangan lagi kau menanti Rama. Ia pasti mati dalam kesedihannya.”

Sinta tak menoleh. Ia menarik napas panjang, menahan getar amarah dan iba yang bercampur.

“Jangan mendekat, wahai Rahwana,” katanya tegas. “Jika engkau mendekat sejengkal pun, aku akan mati di sini juga. Kursi ratu dan kemewahan Alengka tak akan mengurangi setitik pun cintaku pada Sang Rama. Aku yakin, ia akan datang. Cinta kami bukan daun yang mudah gugur diterpa badai.”

Rahwana melangkah maju, wajahnya tegang. “Apa yang kurang dariku, Sinta? Aku memiliki dunia! Semua tunduk di bawah tahtaku. Aku bisa memberimu segalanya, jauh lebih megah dari Ayodya. Jangan bandingkan aku yang bertahta di atas emas dengan Rama yang hidup beralaskan rumput di rimba raya.”

Sinta menoleh perlahan. Tatapan matanya menembus dada Rahwana seperti cahaya yang menembus kabut tebal.

“Rahwana,” ujarnya tenang, “cintaku pada Rama bukan karena tahta atau permata. Aku mencintainya karena ia menuntunku pada kebenaran, bukan pada kebesaran. Rama bukan hanya rajaku, tapi napasku. Tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa mengalihkanku darinya.”

Rahwana terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang memecah hatinya. Namun di balik amarah, ada luka yang sulit disembunyikan.

“Jika begitu,” desisnya, “aku akan menghancurkan rajamu. Akan ku bakar hutan tempat ia mengelana. Akan ku buat berlutut, agar kau sadar bahwa cintamu hanyalah fatamorgana.”

Sinta menegakkan tubuhnya. Ia berdiri, wajahnya teduh namun tegas.

“Rahwana, bahkan jika engkau mengaduk neraka untukku, menyiram dunia dengan api membara, cinta Rama akan tetap menyejukkanku. Kesucianku adalah benteng yang tidak bisa kau runtuhkan dengan bara kebencianmu.”

Taman Ashoka sunyi. Angin berhenti berhembus, seakan bumi pun menunduk mendengar percakapan mereka.

Rahwana memejamkan mata, menahan getir yang menyesak.

“Apakah kau tahu, Sinta?” katanya perlahan. “Cintaku padamu bukan sekadar nafsu. Aku telah berjuang melawan diriku sendiri agar tidak memaksamu. Aku ingin kau datang karena cinta, bukan karena takluk.”

Ia membuka mata, menatap lembut, namun penuh kehilangan. “Tapi mungkin cinta ini memang kutukan. Aku jatuh cinta pada cahaya yang tak bisa kugapai.”

Sinta menunduk. Ada sejenak iba di hatinya. Ia tahu Rahwana bukan sekadar raja kejam; di balik semua kesombongan dan ambisi, ada jiwa yang terluka oleh kesepian.

“Rahwana,” katanya pelan, “andai saja engkau mengenal cinta seperti Rama, engkau takkan tersesat sejauh ini. Cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang menjaga agar jiwa tidak ternoda oleh keserakahan.”

Rahwana menatap Sinta untuk terakhir kalinya. Matanya yang merah menyala kini meredup, digantikan bayangan kesedihan yang dalam. Ia berbalik perlahan dan melangkah pergi. Langkahnya berat, tapi di setiap derapnya, terasa kelelahan seorang raja yang kalah bukan oleh perang, melainkan cinta yang tak berbalas.

Begitu Rahwana pergi, Trijata keluar dari balik tirai. Air matanya menetes tanpa ia sadari.

“Dewi Sinta,” katanya terbata, “aku tak pernah menyaksikan cinta sekuat ini. Engkau mengajarkanku bahwa cinta sejati tidak butuh janji, tidak perlu emas dan kerajaan, cukup kejujuran, kesetiaan, dan keteguhan.”

Sinta menatap langit senja yang mulai memerah. “Trijata, cinta itu seperti embun. Ia lembut, tapi mampu menembus batu. Ia bisa hilang sekejap, tapi keindahannya abadi dalam hati mereka yang memahami.”

Angin berhembus membawa harum bunga Ashoka yang mekar bersamaan dengan malam. Di langit, bintang pertama muncul, berkilau sendu.

Sinta tersenyum samar, menatap bintang itu dengan mata basah.

“Rama,” bisiknya, “aku tahu kau mendengar. Datanglah, wahai kekasih. Cinta ini akan tetap menunggumu, bahkan jika seluruh waktu memenjarakannya.”

Di balik dedaunan yang bergetar oleh angin malam, Trijata berdoa dalam hati.

Semoga cinta yang suci ini kelak menjadi cahaya bagi dunia, penuntun bagi mereka yang lupa bahwa kesetiaan lebih berharga dari segalanya.

Taman Ashoka tertunduk dalam kesyahduan malam. Embun jatuh perlahan ke bumi, seolah menyatu dengan air mata cinta yang abadi: cinta yang terpenjara, tapi tak pernah padam.

Masih ada harapan, Sang Rama akan menjemput Sinta pujaannya. Karena, cinta adalah kekuatan. Lembut seperti embun, tegar seperti karang. ***

 

Tana Kaili, 9 November 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dewi Themis Menangis

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)