Fotografi di Ruang Publik

Oleh: Temu Sutrisno

Senin pagi, suasana agak mendung. Waktu dhuha telah lewat, tapi udara masih lembut dan aroma tanah basah menambah kenikmatan bagi siapa pun yang duduk di kantor profesi itu. Di lantai dua, tempat biasa orang datang untuk sekadar menyeruput kopi sambil berdiskusi ringan, sudah berkumpul beberapa orang.

Om Uchen duduk santai dengan cangkir kopi hitam di tangan. Di sebelahnya, Ami sedang membuka laptop, sementara Iwan dan Om Rusli memperdebatkan hasil pertandingan bola semalam. Suara tawa bersahutan di antara aroma kopi yang baru diseduh.

Tak lama berselang, Rifki datang. Di belakangnya, ada tiga anak muda, masing-masing menenteng kamera digital dan tripod kecil. Wajah mereka tampak antusias tapi juga agak canggung.

“Tonakodi, bagaimana menurut komiu le soal fotografer jalanan yang kini jadi pembahasan di hampir seluruh media sosial?” kata Rifki sambil meletakkan tasnya.

Tonakodi yang sejak tadi duduk di pojok ruangan menatap Rifki dengan senyum samar. Ia baru saja menutup buku kecilnya, sebuah catatan usang berisi coretan pandangan pribadi tentang etika publik.

“Oh, foto-foto tanpa izin yang dijual di platform dan aplikasi digital itu?” tanyanya, seolah ingin memastikan topik diskusi.

Rifki mengangguk. “Iya, itu. Adik-adik ini fotografer pemula. Mereka ingin tahu, di mana batas antara seni dan pelanggaran.”

Tonakodi menghela napas pendek. “Boleh, tapi perlu dicatat ya,” katanya sambil menatap satu per satu wajah para pemuda itu, “saya bukan ahli fotografi. Juga bukan ahli hukum. Tapi kalau diskusi ringan, sependek yang saya tahu, kita bisa mulai.”

Om Uchen menimpali sambil tertawa kecil. “Wah, ini pasti seru. Soal foto di jalanan bisa jadi debat panjang. Aku sih dulu difoto di pasar, tapi pas lihat mukaku muncul di media tanpa izin, rasanya agak aneh juga, tidak ganteng seperti aslinya. Hehehehe.”

Tawa ringan terdengar, namun kemudian suasana perlahan menjadi serius. Rifki membuka ponselnya dan memperlihatkan beberapa unggahan foto yang sedang viral, wajah orang-orang di ruang publik, direkam secara spontan tanpa izin, lalu dijual di platform digital luar negeri. Beberapa di antaranya bahkan menjadi bahan iklan tanpa sepengetahuan yang difoto.

“Pertanyaannya,” kata Rifki, “apakah ini salah? Kan di ruang publik, bebas difoto siapa pun?”

Tonakodi mengaduk kopi pelan. “Begini,” ujarnya tenang, “hukum kita sekarang sudah berubah. Dulu orang berpikir, kalau di jalan ya bebas difoto. Tapi kini, hak privasi diakui, bahkan di ruang publik.”

Ia mencondongkan tubuh, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. “Misalnya, ada pelari difoto tanpa izin lalu fotonya dijual atau diunggah. Ia bisa menggugat fotografer karena perbuatan melanggar hukum atau PMH, begitu istilah hukumnya. Dasarnya Pasal 1365 KUHPerdata: setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan yang bersalah mengganti kerugian itu.

Salah satu pemuda mengangkat tangan. “Tapi kan kami nggak bermaksud jahat, Om. Cuma ingin menangkap momen.”

“Ya, niat bisa baik, tapi akibat tetap bisa buruk,” jawab Tonakodi. “Kalau foto itu menampilkan wajah jelas seseorang tanpa izin, atau fokus pada bagian tubuh tertentu pelari di taman atau di pinggir jalan, apalagi disebar atau dijual, itu sudah masuk wilayah hukum. Bahkan bisa dijerat Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Terkecuali foto suasana yang tidak secara khusus menyorot personal.”

Ami yang sedari tadi memperhatikan menimpali, “Aku sempat baca, penyebaran foto tanpa izin di media sosial bisa juga kena UU ITE, ya?”

“Betul,” jawab Tonakodi sambil mengangguk. “UU Nomor 1 Tahun 2024 yang mengubah UU ITE menegaskan, siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan sepertinya foto yang mengeksploitasi bagian tubuh tertentu, bisa dipenjara sampai enam tahun atau didenda sampai satu miliar rupiah.”

Beberapa pasang mata di ruangan itu membesar. “Satu miliar, Om?” tanya salah satu fotografer muda dengan nada setengah tidak percaya.

“Ya,” jawab Tonakodi. “Kalau fotonya dianggap melanggar privasi atau mengandung unsur penghinaan, atau eksploitasi bagian tubuh tertentu yang sensitif seperti saya sampaikan tadi,  bisa sampai ke sana. Ingat juga, ada UU Pelindungan Data Pribadi, UU Nomor 27 Tahun 2022. Di situ dijelaskan, wajah manusia termasuk data biometrik, data yang unik dan tak boleh disalahgunakan tanpa izin.”

Ia membuka catatannya dan membaca perlahan, “Data biometrik adalah data fisik atau fisiologis individu yang memungkinkan identifikasi unik terhadap seseorang  seperti gambar wajah, sidik jari, retina mata. Nah, kalau wajah seseorang masuk dalam foto dan dipublikasikan tanpa izin, itu sudah pelanggaran hak.”

Om Rusli yang biasanya tak banyak bicara ikut berkomentar, “Jadi, walaupun di ruang publik, orang tetap punya hak privasi?”

“Benar,” jawab Tonakodi. “Ruang publik bukan berarti bebas dari etika. Ada batas tak terlihat yang disebut ‘hak untuk tidak diekspos’. Apalagi kalau hasil foto dijual untuk kepentingan komersial, seperti iklan atau platform digital berbayar.”

Ia menambahkan, “Di UU Hak Cipta juga diatur. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 melarang penggunaan foto orang untuk kepentingan komersial tanpa izin tertulis. Kalau melanggar, dendanya bisa sampai lima ratus juta rupiah.”

Om Uchen terkekeh. “Wah, bisa bangkrut fotografer jalanan kalau sembarangan jual foto.”

Tawa kecil terdengar, tapi para fotografer muda tampak semakin serius. Salah satu dari mereka, perempuan berkerudung yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.
“Jadi bagaimana sebaiknya, Om? Kami suka motret ekspresi orang di jalan karena itu jujur dan spontan. Kalau harus minta izin dulu, bukankah momentumnya hilang?”

Pertanyaan itu membuat ruangan sejenak hening. Tonakodi menatap keluar jendela, ke arah taman kecil di depan kantor, di mana beberapa orang berlalu-lalang.
“Pertanyaan bagus,” akhirnya Tonakodi bersuara. “Seni selalu berbenturan dengan batas. Bahkan menembus batas. Tapi fotografer yang bijak tahu kapan harus berhenti.”

Ia melanjutkan, suaranya lembut namun tegas.

“Kamu bisa tetap motret kehidupan jalanan. Tapi fokuslah pada suasana, bukan wajah. Tangkap gerak, cahaya, tekstur, dan dinamika ruang publik tanpa harus mengeksploitasi identitas seseorang. Kalau pun ada wajah yang tampak jelas, mintalah izin, bahkan cukup dengan sapaan sopan. Itu bukan hanya etika, tapi penghormatan terhadap kemanusiaan.”

Rifki mengangguk. “Benar juga. Kadang kita terlalu sibuk mengejar angle, lupa bahwa yang di depan kamera itu manusia dengan haknya.”

Om Rusli menimpali sambil menyeruput kopi terakhirnya, “Zaman dulu orang takut kamera karena dianggap bisa ‘mencuri jiwa’. Sekarang, mungkin bukan jiwa, tapi data pribadinya yang dicuri.”

Tawa kecil kembali mencairkan suasana.

Diskusi berlanjut hampir dua jam. Para fotografer muda mencatat banyak hal, mulai dari dasar hukum hingga etika visual di ruang publik. Tonakodi mengakhiri dengan satu kalimat yang lama terpatri di ingatan mereka, “Fotografi bukan sekadar menangkap momen dan cahaya, tapi juga menimbang nurani dan kehormatan manusia.”

Saat mereka berpamitan, langit mulai cerah. Cahaya lembut menembus dedaunan di depan kantor, memantul di kaca jendela dan lensa kamera yang tergantung di dada para pemuda itu.

Sebelum mereka melangkah pergi, Tonakodi menepuk bahu Rifki.

“Kalau mereka ingin belajar lebih dalam, bawa saja ke pameran foto yang etis. Di sana mereka akan lihat, bahwa karya besar bukan karena berani melanggar, tapi karena tahu kapan harus menghormati kemanusiaan.”

Rifki tersenyum. “Siap. Saya rasa hari ini kami dapat pelajaran yang lebih berharga dari sekadar teori fotografi.”

Om Uchen melambaikan tangan sambil berteriak dari dalam, “Jangan lupa kirim fotoku, asal jangan dijual di platform luar negeri, ya!”

Semua tertawa.

Langit yang semula mendung kini benar-benar terbuka, seolah ikut tersenyum bahagia menyaksikan sebuah diskusi ringan di pagi hari menanamkan satu benih kesadaran, bahwa di balik setiap foto, ada hak, ada martabat, dan ada manusia yang pantas dihormati.***

 

Palu, 4 November 2025

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dewi Themis Menangis

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)