Sinau Falsafah Jawa: Sapa Salah Seleh
Oleh: Temu Sutrisno
"Wong kang bener mesti jejer, sapa salah (bakal) seleh."
Pitutur luhur tersebut, hampir pasti diketahui oleh mayoritas masyarakat Jawa. Para leluhur telah meletakkan pondasi etik, bahwa orang Jawa harus mampu membedakan hal yang benar dan salah, mana tindakan yang patut dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Kebenaran dan kesalahan seperti minyak dan air, jelas pembatas yang memisahkannya.
Wong kang bener mesti jejer, sapa salah (bakal) seleh. Jika diterjemahkan: barang siapa berbuat baik dengan benar niscaya dia akan tegak. Barang siapa berbuat salah dengan cara apa pun pasti dia akan runtuh.
Dalam kehidupan sosial, pitutur sapa salah seleh, menjadi ruh budaya jujur bagi masyarakat Jawa. Jika ditelisik dengan kondisi kekinian, pitutur sapa salah seleh, setidaknya memiliki beberapa makna etik, sikap kehati-hatian, dan keadilan.
Pertama, sebagai tuntunan etik. Sapa salah seleh, dimaknai sebagai ajaran untuk mengendalikan diri dan berbuat sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat. Sebelum mengambil sebuah keputusan dan tindakan, orang Jawa dituntut untuk mempertimbangkan kebolehan dan kepatutan apa yang akan dilakukan. Jangan sampai yang dilakukan menabrak pranata sosial, merugikan diri sendiri, dan orang lain.
Kedua, sapa salah seleh mengandung makna keadilan dan akuntabilitas. Konsep ini menekankan pentingnya keadilan dan akuntabilitas. Semua perbuatan baik dan benar, buruk dan salah membawa konsekuensi dan pertanggungjawaban. Tidak ada yang bisa menghindari konsekuensi dari perbuatannya, termasuk kesalahan.
Ketiga, pitutur tersebut membangun kesadaran orang Jawa untuk selalu berhati-hati. Sekecil apapun tindakan akan membawa efek domino. Perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan, perbuatan buruk akan diganjar dengan keburukan pula. Untuk itu pitutur bener jejer, salah seleh menjadi kata kunci mengukur setiap langkah orang Jawa. Kebenaran akan mendatangkan kebahagiaan, kesalahan akan berujung pada keterpurukan.
Bener jejer, sapa salah bakal seleh, juga mengandung makna penyesalan dan pengakuan.
Seleh merujuk pada penyesalan dan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini menunjukkan bahwa budaya Jawa menghargai kejujuran dan kesadaran atas kesalahan.
Penghargaan atas kejujuran, dalam pitutur luhur lainnya juga diajarkan dalam budaya Jawa seperti jujur mujur, blaka suta, dan becik ketitik ala ketara.
Jujur mujur, menegaskan bahwa kejujuran akan membawa keberuntungan dan kemakmuran.
Becik ketitik ala ketara, menekankan bahwa pada akhirnya, kejujuran akan menjadi bagian dari diri seseorang dan akan terlihat oleh orang lain, sedangkan kebohongan dan ketidakjujuran akan terungkap.
Sementara blaka suta, menunjukkan budaya Jawa menghargai sikap terus terang dan kejujuran dalam berkomunikasi. Berterus terang dianggap penting untuk menjaga hubungan yang baik dan mencegah timbulnya masalah. Blaka suta mengajarkan pada masyarakat Jawa, agar menyampaikan informasi dengan jujur dan apa adanya, tanpa menyembunyikan atau memutarbalikkan fakta.
Bener jejer, sapa salah seleh dalam budaya Jawa sangat penting dan memiliki makna yang dalam. Bersikap benar dan jujur bukan hanya tentang menaati pranata sosial dan tidak berbohong, tetapi juga tentang perilaku yang jujur dalam segala aspek kehidupan, mulai dari perkataan, tindakan, hingga hubungan sosial. Kebenaran dan kejujuran merupakan dasar budi pekerti luhur yang diyakini akan membawa kebaikan bagi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat di mana orang Jawa bermukim. Wallahu alam bishawab.***
Tana Kaili, 1 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar