Sinau Falsafah Jawa: Rasa Rumangsa
Oleh: Temu Sutrisno
Rasa Rumangsa menjadi kata kunci memahami sifat kejiwaan orang Jawa. Rasa Rumangsa merupakan cermin dan pedoman bagi orang Jawa mengukur diri, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Rasa Rumangsa menjadi alat internal, menjadi sensor, dan penapisan bagi orang Jawa, bahwa dirinya bukan orang yang sempurna.
Dengan demikian, rasa Rumangsa menuntun orang Jawa bijak, mulat salira menemukan jati diri, bahwa dirinya dan orang lain diciptakan unik oleh Gusti Pangeran, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ini pada akhirnya mengantarkan manusia Jawa bersikap mawas diri.
Dalam kehidupan keseharian, sikap mawas diri mewujud dalam nandhing salira. Orang Jawa dituntut memiliki kemampuan membandingkan kelebihan dan kekurangan dirinya terhadap orang lain, agar tidak selalu merasa unggul dan lebih baik dari orang lain. Dalam paribasan Jawa dikenal dengan pitutur luhur, aja dumeh.
Selanjutnya, orang Jawa di manapun berada juga selalu ngukur diri. Artinya, orang Jawa selalu mengukur diri dan orang lain dalam mengambil sikap dan tindakan. Jika kita tidak suka digrenengi (dighibah), maka jangan nggrenengi orang lain. Yen orang seneng dijuwit, aja njuwit. Sikap ini akan mengantarkan orang Jawa lebih berhati-hati dan waspada. Jangan sampai yang dilakukan membuat orang-orang di sekitarnya tidak senang, atau bahkan perilakunya berdampak buruk pada lingkungan sekitar.
Selanjutnya tepa salira. Orang Jawa dituntun dapat mengukur dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Tepa salira merujuk pada sikap tenggang rasa dan empati. Ini berarti menghargai dan menghormati perasaan orang lain dengan menempatkan diri pada posisi mereka, serta menjaga tindakan dan ucapan agar tidak menyakiti perasaan mereka. Tepa salira merupakan bagian penting dari etika berinteraksi dalam masyarakat Jawa, yang mendorong terciptanya hubungan sosial yang harmonis dan damai.
Tepa salira ini merupakan inti dari sikap toleransi orang Jawa. Dengan tepa salira, orang Jawa senantiasa didorong tampil ke depan merenda sikap guyub, rukun antar sesama seperti ajaran Sunan Kalijaga, memayu hayuning bawana.
Ajaran memayu hayuning bawana, menekankan pentingnya menjaga keharmonisan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Ajaran ini mendorong manusia untuk bersikap baik dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Wallahu alam bishawab. ***
Tana Kaili, 30 Mei 2025
Komentar
Posting Komentar