Sinau Falsafah Jawa: Becik Ala Ketara
Oleh: Temu Sutrisno
"Sekar Pangkur kang Winarna,
Lelabuhan kang kanggo wong ngaurip,
Ala lan becik puniku,
Prayoga kawruhana,
Adat waton punika dipun kadulu,
Miwah ingkang tatakrama,
Den kaesthi siang ratri."
Sekar Macapat pangkur ini bagi saya sangat familiar. Dulu sering disenandungkan Simbah, saat beliau masih sugeng. Saat usia kelas 2 SD, Sekar Macapat ini kembali diajarkan Pak Suhadi, guru yang juga seorang dalang. Walhasil, sekar ini meresap dalam jiwa hingga saat ini.
Mungkin bukan sebuah kebetulan. Saat SMP, guru bahasa daerah, Ibu Ari, lagi-lagi melantunkan tembang ini, saat mengajarkan makna ajaran hidup 'Becik Ketitik Ala Ketara."
Sekar Pangkur di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kurang lebih sebagai berikut:
"Tembang Pangkur yang dinasihatkan,
Pegangan yang berguna untuk orang hidup,
Jelek dan baik itu,
Sebaiknya kamu ketahui,
Adat istiadat itu hendaknya dilaksanakan,
Juga yang berupa tata krama,
Dilaksanakan siang dan malam."
Sekar Macapat ini, menjadi pengantar awal bagi orang Jawa untuk memahami bebasan becik ketitik ala ketara.
Sejak pendidikan dini, orang Jawa diajarkan untuk memegang teguh kebenaran dan kebaikan, dalam indahnya aturan adat dan tata krama. Kebenaran hendaknya dipegang dan dijalankan siang malam, dengan penuh kebaikan. Bagi orang Jawa, benar dan baik tidak cukup. Kebenaran dan kebaikan harus dijalankan dengan tata krama yang indah-adiluhung.
Kembali ke ajaran becik ketitik, ala ketara. Dalam konteks budaya Jawa, petuah ini mengajarkan tentang pentingnya menghargai dan merawat hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sesuatu tampaknya kecil atau sederhana, jika dilakukan dengan baik dan tulus, akan membawa berkah dan kebaikan yang besar dalam jangka panjang.
Petuah dalam ajaran becik ketitik ala ketara mengandung nilai-nilai kesederhanaan, kebaikan, dan keberkahan dalam menjalani kehidupan.
Bagi orang Jawa, kebaikan (becik) bersifat universal. Kebaikan adakah kebaikan. Meski disembunyikan, nilai kebaikan akan diakui oleh orang lain. Bukankah manusia diciptakan dengan al-hanif? Fitrah yang cenderung pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
Sementara keburukan (ala), sepintar-pintarnya orang menyembunyikan, pada saatnya akan terbongkar dan diketahui orang lain.
Dalam konteks keadilan, ajaran becik ketik ala ketara berjalan seiring prinsip Gusti Allah mboten sare. Bahwa Allah SWT, Tuhan yang Maha Adil tidak pernah tidur. Jika manusia dalam waktu tertentu dapat menyembunyikan keburukan, mengelabui orang dengan menutup kejahatan, menjatuhkan vonis yang tidak berkeadilan, pada akhirnya Tuhan yang akan membuka kebenaran dan kejahatan, kebaikan dan ketidakbaikan seseorang.
Kiranya benar yang diajarkan Simbah dan para guru yang bijak, bahwa kebaikan dan keburukan akan senantiasa terlihat. Oleh karena itu, ngugemi adat istiadat dan tata krama yang luhur, menjadi pijakan orang Jawa melakoni hidup dan kehidupannya dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Wallahu alam bishawab. ***
Tana Kaili, 1 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar