Inovasi Lembaga Penyiaran di Era Digital
Oleh: Temu Sutrisno
REVOLUSI industri dengan perkembangan teknologi informasi yang luar biasa, berdampak pada media dan/atau lembaga penyiaran. Kecepatan informasi, membuat sebagian besar pengguna lembaga penyiaran bermigrasi ke media sosial.
Pada tahun 2024, GoodStats mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212.9 juta orang, atau 77% dari total populasi 276.4 juta. Sebanyak 167 juta pengguna media sosial aktif, yang merupakan 60.4% dari total populasi. Platform media sosial yang paling populer adalah WhatsApp (90,9%), diikuti oleh Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), dan TikTok (73,5%). Selanjutnya disusul Telegram (61,3%), X (57,5%).
Jumlah pengguna aktif media sosial terus meningkat, dengan pertumbuhan sekitar 12,6% pada tahun 2024. Terdapat peningkatan sebesar 21 juta pengguna aktif dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Data penggunaan media TV di Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa meski masih memiliki penetrasi yang tinggi, terjadi penurunan jumlah penonton dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 48% audiens masih menonton televisi, mengalami penurunan 10% dari 58% di tahun 2021. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran ke layanan streaming dan media online lainnya.
Menurut data Nielsen pada tahun 2023, menunjukan bahwa terdapat kategori utama yaitu streaming dengan angka 35,9%, cable atau TV kabel dengan angka 28,2%, broadcast atau siaran televisi tradisional dengan angka 23,5%, dan other dengan angka 12,5%.
Data terbaru menunjukkan bahwa RRI memiliki pangsa pendengar sebesar 46,4% dari total populasi pendengar radio di Indonesia. Survei Nielsen juga mencatat bahwa RRI memiliki 68% pendengar aktif setiap minggunya. GoodStats menemukan bahwa 10,8% anak muda Indonesia masih mendengarkan radio setiap hari.
Tantangan Semakin Kompleks
Tantangan ini menjadi semakin kompleks, karena media sosial kerap kali menjadi sumber informasi masyarakat tanpa memperhitungkan ketepatan. Media sosial mengusung jargon kecepatan, tanpa memerhatikan dampak dan validasi data atau fakta yang ada. Pengguna media sosial tidak terikat dengan etika dan verifikasi. Pada satu sisi, lembaga penyiaran terikat pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Bukan hanya itu, news room juga harus berpegang pada kode etik jurnalistik dan peraturan-peraturan lainnya berkaitan pemberitaan.
Media sosial dan platform berita daring kini lebih diminati oleh masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen Z, dibandingkan media cetak dan penyiaran konvensional. Perubahan perilaku konsumen media ini menuntut perusahaan media dan/atau lembaga penyiaran untuk segera berinovasi dalam menyajikan konten yang lebih menarik, cepat, dan interaktif.
Media konvensional perlu beradaptasi agar tetap relevan dan bisa bersaing dengan platform-platform baru yang lebih dinamis dan interaktif.
Isu Menarik
Berkaitan dengan klondisi sebagaimana di atas, ada beberapa isu menarik seputar lembaga penyiaran di era digital.
Pertama, penguatan lembaga penyiaran di era disrupsi digital, di mana lembaga penyiaran harus siap menghadapi perubahan teknologi dan perilaku masyarakat.
Kedua, konten ideal di era digital, yang menekankan pentingnya informasi berkualitas dan hiburan yang sehat.
Ketiga, tantangan pengawasan konten digital. Lembaga penyiaran memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku masyarakat. Oleh karena itu, lembaga penyiaran harus diawasi agar menyajikan program siaran yang sehat dan mencerdaskan.
Ketiga isu tersebut dapat dijadikan entri point kolaborasi pemerintah, Komisi Penyiaran, dan lembaga penyiaran dalam upaya menjawab tantangan era digital.
Inovasi Lembaga Penyiaran
Melihat perkembangan era digital dan migrasi konsumen lembaga penyiaran, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, agar lembaga penyiaran tetap eksis tidak tergerus zaman.
Pertama, Menggunakan platform digital. Lembaga penyiaran dapat menggunakan platform digital seperti YouTube, Facebook, dan Instagram untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Produk siaran yang menggunakan frekuensi radio secara terbatas, didigitalisasi untuk menjawab tantangan era digital. Jika cara ini dikelola dengan baik, digitalisasi akan menjadi peluang income dan eksistensi lembaga penyiaran.
Kedua, mengembangkan aplikasi mobile. Lembaga penyiaran dapat mengembangkan aplikasi mobile untuk memungkinkan audiens mengakses konten mereka secara mudah dan nyaman.
Ketiga, menggunakan teknologi streaming. Lembaga penyiaran dapat menggunakan teknologi streaming untuk menyiarkan konten mereka secara langsung dan interaktif.
Keempat, mengintegrasikan dengan media sosial. Lembaga penyiaran dapat mengintegrasikan konten mereka dengan media sosial untuk meningkatkan interaksi dengan audiens, terutama generasi milineal dan Gen-Z sebagai konsumen terbesar.
Kelima, mengembangkan konten interaktif. Lembaga penyiaran dapat mengembangkan konten interaktif seperti podcast, video interaktif, dan reality show untuk meningkatkan keterlibatan audiens.
Keenam, menggunakan data analitik. Lembaga penyiaran dapat menggunakan data analitik untuk memahami perilaku audiens dan meningkatkan kualitas konten mereka. Penggunaan data analitik sangat penting untuk mengetahui selera pasar, dan konten apa yang harus diproduksi.
Ketujuh, mengembangkan model bisnis baru. Lembaga penyiaran dapat mengembangkan model bisnis baru seperti langganan dan iklan digital untuk meningkatkan pendapatan.
Dengan melakukan inovasi-inovasi tersebut, lembaga penyiaran dapat meningkatkan kualitas dan relevansi konten mereka, serta meningkatkan interaksi dengan audiens di era disrupsi digital. Harapannya, lembaga penyiaran mampu bertahan dan dapat berkembang memanfaatkan peluang sekaligus menjawab tantangan era digital. ***
(Penulis adalah Wartawan Utama Trimedia Grup)
Komentar
Posting Komentar