Pejuang Pendirian Sulteng, Pahlawan yang Terlupakan

 "Kita semua berharap sejarah tidak berbelok. Para pejabat tidak menjadikan kekuasaan untuk memasang mahkota dan baju kebesaran untuk dirinya sendiri. Budaya menghormati tokoh yang berjasa bagi daerah dan negeri harus lestari."


Delegasi GPPST pada tanggal 31 Oktober 1957 diterima Seksi Dalam Negeri Parlemen di Jakarta. Dari kiri ke kanan: Rusdy Toana, Djalaludin Lembah, Abdullah Nento, Hasan Ibrahim, Ishak Moro, dan SB Lembah: FOTO: BUKU MEMORANDUM PEMBENTUKAN DAERAH SULAWESI TENGAH






SABAN tahun, Sulawesi Tengah memperingati hari berdirinya sebagai provinsi. Tanggal 13 April menjadi penanda, Sulawesi Tengah memiliki pemerintahan sendiri, terpisah dari  Sulawesi Utara.

Setiap tahun pula, saat ulang tahun digelar, pemerintah berziarah ke taman makam pahlawan dan menyebut secara runut dalam upacara, nama-nama mantan gubernur yang memimpin negeri seribu tambang ini.

Tak pernah terdengar nama-nama seperti Kyai Zainal Abidin Betalembah atau Imam Mujahid, H. Ibrahim, Abdullah Nento, Ch. Modjo, H. Rustam Arsyad, AH Tantu, atau Amas Dg Sute dan nama-nama lain dari Gerakan Penuntut Provinsi Sulawesi Tengah (GPPST) disebut dalam sejarah. 

Kalau pun disebut, mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Sulawesi Tengah yang tahu. Malah, bisa jadi sebagian besar pejabat di Sulawesi Tengah tidak tahu mereka dan nama-nama lain yang bahu membahu memperjuangkan pendirian provinsi Sulawesi Tengah.

Demikian halnya nama-nama yang tergabung dalam panitia penuntut dan pembangun Provinsi Sulawesi Tengah (P4ST) seperti L. Mene Lamakarate, Rusdy Toana, Mohamad Lahamy, Ishak Moro, Ahmad Lawira, Djalaludin Lembah, Asmaun Dg Marotja, Ibrahim Madilao, Anwar Khan, MS Patimbang, Ahmad Panyili, dan anggota P4ST lainnya.

Mungkin juga banyak orang yang kini menikmati jabatan dan kursi kekuasaan tidak mengetahui jika wilayah Sulawesi Tengah dari ujung Buol hingga Banggai Laut merupakan konsep yang disusun Mene Lamakarate bersama Rusdy Toana.

Masih banyak nama lain yang juga terlibat aktif seperti Tjatjo Idjaza, P. Sigilipu, Karim Mbow, N. Nggeawu, dan para donatur seperti Sidik Dg Gasing, Ladjaling, Ahmad Latjuba, Paulus Molido, dan banyak pengusaha lainnya.

Meminjam pemikiran Antropolog James J. Fox yang juga pakar sejarah Nusantara, ziarah makam-makam menunjukkan sumber kehidupan masa lalu dan penghormatan pada orang-orang yang memiliki jasa dan otoritas di masa lalu. 

Lalu, kenapa di setiap peringatan HUT Sulawesi Tengah, para pejabat daerah tidak menyebut nama-nama  serta melakukan ziarah ke makam para pejuang dan pendiri daerah?

Bukankah mereka adalah orang yang punya jasa besar dalam perjuangan dan pembentukan daerah?

Kenapa para pejabat yang kini duduk di kursi empuk kekuasaan lebih memilih datang berziarah ke Taman Makam Pahlawan, yang bisa jadi tidak bersemayam di dalamnya mereka yang berjuang mendirikan provinsi Sulawesi Tengah.

Masuk akal, ziarah ke Taman Makam Pahlawan dilakukan saat hari kemerdekaan atau hari nasional lainnya.

Bukankah para pejabat itu, kepala daerah, ketua dewan dan yang lain-lain, sangat mengenal nama-nama tokoh pendiri daerah?

Jawabannya sederhana, mereka mengenal tapi (lupa) menghargainya, tidak kenal, lupa atau sengaja melupakan. 

Jika jawaban terakhir yang muncul, kiranya klop dengan teori difusi Wilhelm Schmidt seorang guru besar antropologi dari Austria. Schmidt menegaskan bahwa terjadinya perubahan budaya di suatu daerah karena adanya penyebaran atau difusi unsur-unsur kebudayaan.

Aneh, jika pejabat daerah yang seakan-akan melupakan para tokoh pendiri daerah. 

Jika tradisi ziarah dialihkan hanya ke taman makam pahlawan yang didalamnya tidak satupun tokoh pendiri daerah dimakamkan terus dilakukan, suatu saat sebagaimana teori Schmidt, generasi ke depan tidak akan lagi mengetahui tokoh pendiri daerah.

Jika para pejabat daerah tidak mentradisikan ziarah ke makam tokoh-tokoh pendiri daerah, rasa-rasanya bakal terjadi pergeseran budaya di daerah ini. Generasi ke depan hanya akan mengenal ziarah taman makam pahlawan, tanpa tahu siapa yang dimakamkan di dalamnya. Mereka akan kehilangan jejak sejarah pendirian daerah.

Kembali ke budaya Nusantara, bukankah Bung Karno telah mengingatkan seluruh anak bangsa, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Bung Karno mengajak seluruh anak bangsa, mengenang jasa para pahlawan, baik yang dikenal, maupun para pahlawan yang tak dikenal. Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Kata Bung Karno.

Menghormati jasa pahlawan tentu bukan hanya mengenang masa lalu. Menghormati dan berterima kasih, berarti juga meneladani perjuangan mereka. Namun, bukankah zamannya sudah berubah? Bukankah sekarang ini,  tidak dalam keadaan perang? Jadi, apa artinya meneladani para pahlawan?

Seorang pahlawan harus dilihat sebagai figur yang berhasil mengembangkan kebajikan seorang warga atau civic virtues dalam dirinya, sehingga rela mengorbankan kepentingan diri dan hidupnya, dalam memperjuangkan bangsanya.

Kita semua berharap sejarah tidak berbelok. Para pejabat tidak menjadikan kekuasaan untuk memasang mahkota dan baju kebesaran untuk dirinya sendiri. Budaya menghormati tokoh yang berjasa bagi daerah dan negeri harus lestari. TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

HUKUM DAN MORALITAS

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014