Pencitraan; Manipulasi Prestasi

Oleh: Temu Sutrisno 





Hari itu, dego-dego tua Tonakodi kembali ramai. Beberapa sahabatnya berkumpul di tongkrongan favorit di samping pondok Tonakodi.

Om Uchen, Ami, Toma Yojo, Ishaq, dan Uly asyik ngobrol bersama Langgai Naroso, dan Dei Nanoto.

Hari itu terasa sedikit istimewa. Pak Dalang, sahabat dari kampung seberang bersamaan silaturahmi ke pondok Tonakodi.

Terlindung sombar di bawah pohon Talise, Tonakodi bersama sahabatnya menyimak cerita wayang dari Pak Dalang.

Bermula dari ocehan Om Uchen, ada instansi menganggarkan ratusan juta rupiah untuk pencitraan kepala daerahnya. Malah angkanya bisa melambung miliaran rupiah, pada saat-saat tertentu.

Langgai Naroso, sahabat Tonakodi yang ahli bahasa dan cakap dalam bidang komunikasi publik, turut memantik perbincangan.

"Pencitraan dan branding, konsep yang sering digunakan dalam dunia pemasaran dan komunikasi. Sejatinya memiliki perbedaan mendasar. Banyak orang yang tidak paham. Mereka menyamakan kedua konsep yang berbeda ini," kata Langgai Naroso.

Pencitraan adalah proses menciptakan citra atau gambaran tentang suatu di mata publik. Pencitraan bertujuan untuk membentuk persepsi positif tentang suatu di benak orang lain atau publik. 

"Sedangkan branding proses menciptakan identitas unik dan konsisten pada sesuatu. Branding bertujuan untuk membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain dan menciptakan loyalitas publik terhadap sesuatu yang dimaksud," terang Langgai panjang lebar.

"Benar. Ada perbedaan mendasar, antara pencitraan dan branding," sambung Tonakodi sembari menuangkan kopi di cangkir teman-temannya.

Pencitraan bertujuan untuk membentuk persepsi positif, sedangkan branding bertujuan untuk menciptakan identitas unik dan konsisten.

"Pencitraan fokus pada citra atau gambaran, sedangkan branding fokus pada identitas dan nilai-nilai. Betul begitu le Tuwei," tanya Tonakodi pada Langgai Naroso.

"Betul le Tonakodi. Pencitraan dapat bersifat sementara, sedangkan branding bersifat jangka panjang dan berkelanjutan," kata Langgai Naroso.

Bukan hanya itu, sambung Langgai Naroso.

Pencitraan lebih superficial dan cenderung manipulatif. Sesuatu digambarkan tidak sebagaimana adanya.

Branding lebih mendalam dan melibatkan pengembangan identitas dan nilai-nilai yang melekat pada sesuatu, ungkap Langgai Naroso panjang lebar.

"Ini kalau dalam pewayangan, mirip cerita Bambang Sumantri dan adiknya Sukrasana," ujar Pak Dalang.

Mungkin banyak orang tidak mengenal tokoh pewayangan Sukrasana. Ya, tokoh yang satu ini tidak sepopuler Arjuna, Rama, Kresna, Rahwana atau yang lainnya.

"Kita dapat belajar dari filsofi lakon Sukrasana dalam lalu politik dan pemerintahan. Wayang yang satu ini digambarkan sebagai si buruk rupa. Ia tampil apa adanya, dengan identitas dan nilai yang diyakininya," beber Pak Dalang.

Sukrasana merupakan raksasa kecil adik Bambang Sumantri yang ganteng, putra dari Begawan Suwandhagani.

Sukrasana merupakan sosok tanpa pamrih yang selalu membantu kakaknya saat mengabdi pada Prabu Arjuna Sasrabahu. Hampir semua ujian dan keberhasilan Sumantri, sesungguhnya dilakukan Sukrasana dari balik layar. Namun Sukrasana harus mati ditangan kakaknya sendiri demi pangkat, derajat, dan ambisi politik.

"Sukrasana adalah perlambang orang yang siap berkorban untuk orang lain atasnama cinta kasih dan kemanusiaan, tanpa berharap pamrih. Ia tampil apa adanya tanpa polesan. Dia berbeda dengan kakaknya yang selalu tampil dengan ciri keindahan fisik, ganteng, dan tentu saja sesuai standar ideal generasinya," sambung Pak Dalang.

Sumantri jauh digilai banyak orang karena tampilannya yang sesuai ‘pasar’ dibanding Sukrasana yang tampil apa adanya, meski dia memiliki banyak kelebihan.

Politisi Indonesia dan aktor pemerintahan --mungkin sudah jamannya, lebih banyak yang mengandalkan pencitraan daripada tampil apa adanya. Meski pencitraan beda tipis dengan kebohongan, lucunya mayoritas rakyat mudah tertipu dengan pencitraan.

"Khalayak lebih percaya tampilan Bambang Sumantri daripada adiknya Sukrasana," tekan Pak Dalang.

"Baliho di tempat ibadah dan senyum manis di Medsos termasuk pencitraan, yang dibiayai instansi pemerintah, ya Om Uchen?" tanya Ami.

"Bisa jadi," jawab Om Uchen sekenanya.

"Kalau branding bicara prestasi. Pencitraan manipulatif. Pertanyaannya, pengunaan uang negara untuk kegiatan manipulatif, apakah diperbolehkan aturan dan tidak melanggar hukum?" cerocos Ami 

"Bolehkah pasang-pasang baliho di tempat ibadah?" tukas Dei.

"Soal hukum nanti ditanyakan ke ahlinya. Tapi kalau rakyat senang dibodohi, dan pencitraan bagian dari menyenangkan rakyat, secara politik sah. Meski secara moral dipertanyakan," tukas Tonakodi sok bijaksana 

"Soal media pencitraan di rumah ibadah, sebetulnya itu polusi visual untuk jemaah.Tapi biarlah, toh jemaah di negeri ini baik hati. Siapa tahu dengan senyum manis di baliho dekat rumah ibadah, pejabat bersangkutan lebih sering dan rajin ke rumah ibadah. Bukan hanya saat ingin mendulang suara," celoteh Tonakodi.

"Bukan sekadar pencitraan, seperti Sumantri yang ujungnya menyesal kehilangan Sukrasana," bisik Tonakodi.

"Kenapa pakai berbisik le, Tonakodi,' tanya Uly.

"Ini hanya perbincangan kita di sini. Jangan komiu sebar. Nanti ada pejabat yang tersinggung," kata Tonakodi dengan mimik lucu.

Hahahaha...sahabat Tonakodi tertawa renyah. ***


Palu, 18 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

HUKUM DAN MORALITAS

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014