Hilal; antara Fitri dan Laila
Oleh: Temu Sutrisno
Suasana lebaran mewarnai pertemuan Om Uteng dan Tonakodi. Sore itu, di dego-dego tua samping rumah Tonakodi, kedua karib berbincang santai, sembari menikmati secangkir kopi dan kudapan lebaran.
Tonakodi menanyakan kabar Om Uchen, kembaran Om Uteng yang lama tak menampakkan batang hidungnya. Ya, mereka bertiga bertemu sekira tiga atau empat bulan sebelum lebaran, saat Om Uchen menikahkan putrinya dengan anggota legislatif dari daerah seberang.
Laiknya pertemuan sahabat uang lama tak bersua, percakapan ketiganya banyak diselingi gelak tawa. Apalagi jika obrolan menyerempet masa lalu. Lebaran rasa nostalgia.
“Ustaz, bagaimana caranya kita bisa kembali dan tidak berpaling dari fitri,” tiba-tiba Om Uteng mengalihkan tema pembicaraan.
Ustaz Ucha kaget. “Fitri yang mana? Aduh bae-bae sadiki Om Uteng,” ujar Ustaz Ucha dengan senyum mengembang.
“Jangan bapancing, Om. Fitri siapa ini?” cabdaTonakodi nimbrung.
“Beh, buka fitri nama orang ini e. Kemarin waktu salat id, khatib bilang itu. Katanya puasa ini harus bisa mengantarkan kita ke puncak ketakwaan, kembali fitri,” klarifikasi Om Uteng pada Ustaz Ucha.
“Oohh itu. Saya kira juga fitri yang lain. Hehehehe,” Ustaz Ucha terkekeh.
Benar, lanjut Ustaz Ucha. Orang yang puasanya berhasil, adalah mereka yang kualitas ketakwaannya meningkat.
“Orang-orang itu mudah dilihat dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bagaimana melihatnya? Orang itu akan senantiasa berjalan pada rel kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Itulah orang yang kembali fitri,” ukar Ustaz Ucha.
Jiwa manusia sesuai fitrahnya cenderung hanif, yaitu memiliki sifat alami yang memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Hanif juga diartikan sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah dan tidak berpaling kepada yang lain.
“Allah memerintahkan manusia untuk menghadapkan wajah lurus menuju agama Allah. Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” Ustaz Ucha menerangkan Firman Allah SWT dalam Alqur’an surat Ar-Rum ayat (30).
“Setuju Ustaz,” Tonakodi menyela penjelasan Ustaz Ucha.
Kebenaran kata Tonakodi, harus dijalankan dengan cara yang baik. Tidak cukup sampai di situ, benar dan baik juga harus dipraktikkan dengan cara yang indah. Sehingga semua orang di sekitar tidak merasa terganggu dan bisa menerima kebenaran itu.
“Iya, sayangnya tidak semua orang memamahi makna fitri ini. Banyak yang hanya memburu hilal, lupa fitri. Bahkan juga lupa laila. Lailatul qadar. Berapa banyak orang yang melipatgandakan ibadahnya di akhir Ramadan, saat lalilatul qadar turun?” kata Ustaz Ucha.
Kenapa Cuma hilal yang diingat? Karena awal puasa dan menjelang lebaran, banyak orang berburu kebutuhan untuk menjalani puasa dan menyiapkan semua hal yang bersifat material untuk lebaran.
Pertanyaan yang selalu menjejali pikiran, kapan awal puasa? Kapan lebaran? Semua tergantung hilal. Termasuk THR juga bergantung hilal.
"Jangan-jangan memang kita yang salah. Kita terlalu fokus mencari hilal, sehingga Laila dan Fitri terlupakan. Jika itu yang terjadi, jangan salahkan Laila dan Fitri berpaling dari kita."
“Alhamdulillah, dapat pencerahan baru dari Ustaz. Terima kasih Ustad Ucha,” ucap Tonakodi.
Pembicaraan ketiga sahabat pun terus berlanjut. ***
Palu, 2 April
2025
Komentar
Posting Komentar