Air Kehidupan
Oleh: Temu
Sutrisno
Di Dego-dego taman kantor perkumpulan, Tonakodi seperti hari-hari biasa menemani kawan-kawan sekumpulan berbincang.
Kali ini
temanya agak lari dari profesi yang mereka geluti. Namun tidak jauh-jauh dari
fenomena kehidupan. Seliweran kabar di beberapa media, seorang anak tega
menghabisi orang tuanya. Penyebabnya mudah diduga, pengaruh barang haram
Narkoba.
Pak Bas,
yang paling senior di antara mereka yang berkumpul hari itu mengungkapkan
kekhawatirannya terhadap masa depan bangsa.
“Jika hal
seperti ini terus berkembang, Narkoba di mana-mana, anak-anak muda terpengaruh,
mau seperti apa bangsa ini ke depan?” Pak Bas memulai pembicaraan.
“Butuh
keseriusan aparat dan kerja sama seluruh masyarakat untuk memberantas. Tidak
ada jalan lain, Narkoba mesti menjadi common
enemy, musuh bersama,” Om Uchen menimpali.
“Bagaimana
itu Tonakodi?” Ami memancing Tonakodi turut bicara.
“Nakana, so
betul Om Uchen bilang. Cocok sudah itu. Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kabar
Om Uteng, saudaranya Om Uchen, katanya so mau ba kase nikah anaknya le?” kata
Tonakodi.
Hehehehe…te
usah alihkan tema. Ini saja dulu kita bahas, sergah Om Uchen.
Menurut
saya, ucap Tonakodi, bukan hanya penegakan hukum, namun juga jalur lain seperti
pendidikan harus dioptimalkan.
Pendidikan
apa? Pendidikan yang mampu membangun kesadaran bahwa Narkoba itu berbahaya
untuk kesehatan, jiwa, dan mental pelakunya.
“Bukankah
sudah sering dilakukan sosialisasi. Bahkan aparat masuk ke sekolah-sekolah
untuk menjelaskan dampak buruk Narkoba,” Aso menyela paparan Tonakodi yang
mulai agak-agak ilmiah.
Ya, betul.
Ami membenarkan apa yang disampaikan Aso.
“Makanya,
saya bilang lebih dioptimalkan. Langkah itu juga harus dilakukan secara terus
menerus. Jangan sekali-kali, orang mudah lupa. Apalagi kalau niatnya
sosialisasi sekadar menggugurkan kewajiban. Bahasa orang di luar sana,
menghabiskan anggaran,” Tonakodi mulai mode serius.
Hehehehehehe....sekadar menghabiskan anggaran, Om Uchen terkekeh.
Saya
setuju, harus ada langkah kolaboratif yang melibatkan banyak pihak. Pak Bas
yang sedari tadi lebih banyak diam menyembul dengan suara khasnya, serak-serak
adem.
“Jadi,
menurut Tonakodi apa yang harus dilakukan selain sosialisasi dan penegakan hukum?”
Tanya Ami.
Menggelorakan
kasih sayang, jawab Tonakodi.
Jawaban itu
tentu saja membuat teman-temannya heran.
“Valentine
day, maksudnya?”
Bukan, tegas Tonakodi. "Itu bukan budaya kita. Malah merusak budaya luhur bangsa. Memaknai kasih sayang bukan seperti itu."
Kasih
sayang harus dimulai dari rumah. Anak-anak hendaknya dididik dengan penuh kasih
sayang, mulai dari rumah. Kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pendidikan
pada sekolah yang hanya beberapa jam.
“Anak-anak
mungkin tidak sepenuhnya mendengar orang tua. Tapi anak-anak akan sangat mudah
meniru yang dilakukan orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus bisa tampil
sebagai teladan terbaik untuk anak-anaknya.”
“Nah…ini
saya sepakat,” ujar Om Uchen.
Tonakodi
meneruskan bicaranya. “Saya pernah mendengar kyai berkata, selamatkan dirimu
dan keluargamu dari api neraka. Apa artinya? Tanggung jawab utama ada di
keluarga,” lanjut Tonakodi.
“Sejak
dini, anak-anak perlu diajarkan mendengarkan, menghormati, dan menyayangi orang
tua.”
“Dalam
hidup ini, ada dua air yang tidak tergantikan oleh dunia dan isinya. Apa? Air
susu ibu dan keringat seorang ayah. Itulah air kehidupan, tirta amerta yang sesungguhnya.”
Jangan
sekali-kali menumpahkan air mata kedua orang tua, terutama ibu. Kecuali air
mata kebahagiaan. Jika anak-anak diajarkan kasih sayang, bagaimana mungkin dia
tidak mendengar, bagaimana dia rela menyakiti, bahkan menghabisi jiwa orang
tuanya.
"Ridha orang tua adalah ridha Tuhan. Duka orang tua merupakan nestapa seluruh alam."
“Bahkan,
penyalahgunaan Narkoba oleh anak-anak telah merenggut jiwa banyak orang tua, sebelum Tuhan memanggil
jiwa-jiwa mereka.”
Allahu
akbar, Allahu akbar….kumandang adzan zuhur. Perbincangan itupun bubar. Mereka
menuju masjid dekat kantor perkumpulan profesi memenuhi panggilan Tuhan. ***
Palu, 12 Januari 2025
Komentar
Posting Komentar