Dulu Kompeni, Kini Investasi?

 


DAHULU kala, awal mula penjajahan di bumi Nusantara dimulai dari pelayaran bertahun-tahun. Vasco da Gama dari Portugal, Afonso d’Albuquerque dari Spanyol, dan Cornelis de Houtman bersama Jan Huyghen van Linschoten dari Belanda berpetualang mengarungi lautan bertahun-tahun untuk datang ke negeri yang kini bernama Indonesia. Armada ini tidak diundang, mereka datang dengan misi awal perdagangan.

Lambat laun, misi dagang berubah menjadi penjajahan. Sikap serakah telah melahirkan imperialisme dan kolonialisme beratus tahun di bumi Nusantara. Belanda yang paling lama menguasai perdagangan di Nusantara, menancapkan penjajahannya melalui kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dalam lidah bangsa-bangsa Nusantara disebut kompeni atau kumpeni. Kongsi dagang ini bertahan cukup lama, sejak berdiri pada 2 Maret 1602 hingga 31 Desember 1799, sebelum akhirnya diambil alih Kerajaan Belanda.

Kini, setelah Nusantara lepas dari penjajahan dan menjadi sebuah Negara bernama Indonesia, benarkan kompeni benar-benar telah hengkang dalam praktik ekonomi bangsa?

Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Merdeka juga diartikan berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Mengacu pada pengertian kemerdekaan pertama di atas, mudah setiap orang memahami bahwa secara fisik Indonesia sudah terlepas dari penjajahan bangsa asing. Tidak ada lagi militer Negara lain menduduki Indonesia. Tidak ada lagi yang menyiksa, dalam berbagai bentuk seperti yang dilakukan Belanda dan Jepang pada penduduk Nusantara era 1590-an hingga 1945.

Jika merujuk pada pengertian kedua, rasa-rasanya Indonesia benar-benar belum merdeka. Kita masih merasakan aroma penjajahan.

Cita-cita menyejahterakan segenap tumpah darah Indonesia dengan sistem ekonomi gotong royong, kekeluargaan yang digelorakan Bung Hatta tak kunjung terwujud. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme. Akibatnya kemiskinan masih menjadi ‘penyakit endemik’ rakyat Indonesia. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin cukup menganga.

Baik buruknya ekonomi bangsa kita masih ditentukan dan tergantung pada bangsa lain. Persoalan fundamental ekonomi semisal ketahanan pangan, menjadi barang mahal. Indonesia sejauh ini menjadi salah satu negara agraris yang doyan impor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan sebagai negara dengan garis pantai terpanjang, negeri ini juga harus mengimpor garam dari negara lain.

Jika penjajahan Belanda mengeruk kekayaan Indonesia melalui Kompeni, kini sumber daya alam Indonesia banyak dikelola perusahaan-perusahaan asing melalui bendera transnational corporations (TNC) dan multinational corporations (MNC).

Jika dulu Kompeni datang tak diundang, kini perusahaan-perusahaan itu datang karena undangan. Atas nama investasi, perusahaan-perusahaan itu mengeruk sumber daya alam Indonesia.

Apakah kita harus antiinvestasi asing? Tentu saja tidak, sepanjang investasi itu menguntungkan Negara dan takyat Indonesia, serta mengeruk habis kekayaan negeri dibawa lari ke negeri asal investor.

Lalu, Siapa yang paling diuntungkan dari investasi asing di negeri ini?

Bagi mereka yang pro investasi asing, setidaknya berdalih investasi membawa manfaat, pertama, merubah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Penanaman modal akan mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Untuk itu diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil, dengan menggunakan modal dari dalam maupun luar negeri.

Kedua, Investasi akan meningkatkan output, kesempatan kerja, ekspor, pajak, penerimaan pemerintah, dan transaksi berjalan. Ketiga, investasi asing juga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, perusahaan asing akan mendorong kenaikan output dan pendapatan masyarakat.

Keempat, investasi asing juga diharapkan membawa teknologi dari luar negeri sehingga bisa meningkatkan perkembangan teknologi di Indonesia, dan menciptakan tenaga ahli baru dari teknologi yang masuk ke Indonesia.

Namun harus disadari, investasi asing faktanya lebih menguntungkan orang dan Negara luar, plus segelintir warga pribumi. Kekayaan hanya dinikmati tak lebih dari puluhan rakyat Indonesia. Lembaga Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Benar, perusahaan asing membantu Indonesia dalam mengolah sumber daya alam yang ada. Hal tersebut pada akhirnya membuat Indonesia tidak menikmati hasil kekayaan alam sepenuhnya.

Investasi asing dalam praktiknya, seringkali mengambil lahan hijau sebagai tempatnya berdiri. Pada akhirnya terjadi alih fungsi pemukiman dan lahan pertanian warga untuk mendirikan perusahaan. Semakin banyaknya perusahaan asing, akan semakin mempersempit ketersediaan lahan di Indonesia. Demikian halnya dengan potensi kerusakan lingkungan. Salah satu bentuk penyimpangan yang kerap terjadi adalah eksploitasi sumber daya secara berlebihan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan alam. Siapa yang paling terdampak? Pasti warga di sekitar investasi tersebut menjalankan usahanya.

Di hari kemerdekaan 17 Agustus, sejenak kita merenung. Jika dulu Kompeni dilawan para pendahulu bangsa, kini investasi ‘berjiwa’ Kompeni malah banyak yang datang karena diundang pemegang kuasa.

Tujuan kemerdekaan dan pendirian Negara sebagaimana Pembukaan UUD NRI 1945, “Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, entah kapan akan mewujud.

Tujuan ini bukan tujuan utopis yang tidak bisa dicapai, tapi karena memang hari ini kita baru berhenti pada merdeka sebagai deklarasi, belum merdeka secara substansi.

Mungkin, akan selalu ada Patih Danurejo IV yang bersahabat dengan Belanda, saat Pangeran Diponegoro, Kyai Maja, dan Alibasya Sentot Prawiradirja bersama rakyat berjuang menegakkan kedaulatan bangsa. Wallahualam bishawab.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM