Uang Hantaran Jabatan

 


SEPERTINYA perlu sanksi hukum yang lebih berat dan membuat orang tidak terpikir untuk melakukan tindak pidana korupsi, melakukan pungutan, dan atau setor-menyetor uang atau barang untuk memperoleh kemudahan dalam pemerintahan.

Masih hangat di ingatan, kasus barter tuntutan senilai Rp700 juta kepada oknum jaksa, hingga kini belum jelas penyelesaiannya. Padahal telah ada laporan dari pihak yang ‘terpaksa’ menyetor uang tersebut. Malah disinyalir, uang tersebut merembes ke beberapa aparat penegak hukum  (APH) lainnya.

Demikian pula dengan, informasi pungutan pada rekanan yang  hendak mendapatkan paket pekerjaan. Tidak tanggung-tanggung, informasi yang beredar 20 hingga 30 persen dari anggaran pekerjaan. Informasi itu juga menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan apakah ditindaklanjuti APH atau tidak.

Kini, soal setoran sejumlah uang tertentu juga mengiringi pelantikan pejabat di sebuah kampung.

Konon, kerabat dekat Kepala Kampung mengumpulkan sejumlah uang dari para calon pejabat yang akan dilantik. Uang itu semacam hantaran jabatan. Tanpa uang hantaran jabatan, dipastikan bakal terpental. Angin informasi berbisik, untuk jabatan administrator serendah-rendahnya harus menyetor Rp50 juta.

Walhasil, nama-nama calon pejabat administrator dan pengawas yang mendapat penilaian dan rekomendasi atasan, hilang saat pelantikan dilakukan. Tak pelak, para atasan kaget.

Kasus ini harus diungkap dan ditangani serius oleh APH. Semua pihak yang terlibat, mulai dari yang menyuruh melakukan, pelaku, dan orang yang turut melakukan perbuatan tersebut.

Tanpa upaya serius untuk mengungkap dan menindak secara hukum, bisa jadi kasus-kasus seperti ini akan terus berulang.

Kasus setoran uang proyek, barter penuntutan, dan mahar jabatan menjadi batu uji APH. Akankah mereka bergerak? Ataukah celoteh rakyat kecil, menjadi wajah hukum yang sesungguhnya. Hukum hanya untuk rakyat kecil, tidak untuk pejabat dan pengusaha atau orang-orang tertentu yang dapat membeli keadilan.  Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Bisa jadi, kasus ini seperti fenomena gunung es.

Belajar dari kasus yang ditangani KPK, dalam operasi tangkap tangan Bupati Klaten Sri Hartini. Tarif jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten, untuk pejabat Eselon II/Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama  dimulai dari Rp80 - Rp400 juta,Eselon III/Administrator R 40-80, dan Eselon IV/Pengawas bertarif Rp15 juta.

Jika setoran proyek, barter tuntutan, dan hantaran jabatan dikategorikan suap, maka suap merupakan penyakit yang berbahaya. Suap merusak akhlak individu dan sosial, serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Suap juga akan menghilangkan kepercayaan, kejujuran, dan sikap amanah, serta menghilangkan hak-hak orang lain. Di lingkungan kerja, suap-menyuap pada akhirnya akan merusak profesionalisme.

Sehingga tidak berlebihan, Rasulullah SAW menegaskan  Allah SWT  melaknat penyuap dan yang disuap, sebagaimana hadis yang diriwayatkan  Tirmidzi. Wallahu alam bishawab. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM