Telinga Tikus

Kadang kita perlu notasi berbeda untuk mendengar merdunya suara warga. Hanya dengan tangga nada, sebuah lagu dapat didengar indah dan harmonis.

"


 


ADA pepatah seperti telinga tikus atau telinga gajah. Orang tua sering mengingatkan, jadilah orang bertelinga gajah jangan bertelinga tikus. Telinga tikus untuk mendifati otang-orang yang mudah tersinggung, sensitif terhadap kritik, dan tidak mudah menerima saran. Sebaliknya telinga gajah untuk orang-orang yang sabat dan kuat menerima kritik dan bahkan hinaan.

Para arif di masa lalu, menyampaikan pepatah ini, bukan sekadar untuk menasihati orang di zamannya. Pepatah ini faktanya, masih relevan dengan kondisi kekinian.

Pepatah ini mengajarkan, agar orang tidak mudah tersinggung saat kritik dan koreksi darang menghantam. Sebaliknya, semua pendapat orang baik yang pro dan kontra didengar baik-baik. Karena kadang orang di dekat meninabobokkan, dan orang di seberang mengingatkan agar tidak terjerumus ke jurang.

Konon ada seorang Kepala Kampug,menjadi perbicangan bawahannya. Malah ada bawahannya, pejabat teknis yang terang-terangan mengkritik dan melawan kebijakannya di muka umum. Di hadapan khalayak, pejabat tersebut mengumumkan bahwa yang dilakukan atasannya melanggar garis lurus peraturan yang ada.

Kepala Kampung  sulit menerima saran dan pendapat dari orang lain. Jika ada kritik dan saran, ia akan memosisikan orang tersebut sebagai lawan atau kelompok yang tidak mendukungnya.

Dalam forum-forum resmi, sepintas ia seperti mendengarkan masukan orang di sekitarnya. Namun dalam pengambilan kebijakan, ia abaikan semuanya. Bahkan suara para penasihatnya, menguap begitu saja. Walhasil para penasihat seperti tidak bekerja. Tentu saja ini menjadi pertanyaan warga, karena mereka digaji untuk memberikan masukan pada Kepala Kampung dan pejabat teknis di kampung tersebut.

Sebaliknya di tempat berbeda, ada penggawa lainnya yang juga memiliki beberapa orang penasihat. Mereka dipilih dari orang-orang (yang katanya) ahli di bidangnya masing-masing.

Lucunya, ada penasihat di sebuah kampung berlagak penggawa. Hampir di setiap kesempatan ia hadir dalam kegiatan kampung. Hampir semua bidang ia urus. Padahal, hal-hal teknis seharusnya menjadi urusan dan pekerjaan pejabat teknis. Mungkin saja penasihat itu merasa dirinya ahli segala bidang, sehingga pekerjaannya melampaui bidang yang menjadi tugas pokoknya. Anehnya, Sang Penggawa seperti lebih percaya pada penasihat ini, dari pada orang lain.

Dalam konteks demokrasi, peran komunikasi publik memang seharusnya dijalankan pejabat publik, karena merekalah yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan bertanggung jawab. Mereka yang bertanggung jawab membangun dialog dengan masyarakat. Dengan demikian, tidak semua hal diserahkan pada penasihat.

Seorang Penggawa, Kepala Kampung, dan pejabat teknis merupakan orang yang paling bertanggungjawab  atas kebijakan dan program yang dijalankan, bukan penasihat. Sebagai pembantu Penggawa atau Kepala Kampung, para pejabat  tenis harus menjadi corong terdepan untuk menjelaskan setiap kebijakan dan program yang dilaksanakan.

Untuk membangun komunikasi dan dialog dengan masyarakat, mereka harus bertelinga gajah. Siap menerima keluh kesah, masukan, dan kritikan tanpa ketersinggungan.

Jika masih berteliga tikus, sebaiknya ukur diri apakah pantas memerankan sosok Penggawa, Kepala Kampung, dan atau pejabat teknis yang harus berhadapan dengan masyarakat dengan beragam pandangan dan suara.

Kadang kita perlu notasi berbeda untuk mendengar merdunya suara warga. Hanya dengan tangga nada, sebuah lagu dapat didengar indah dan harmonis. Wallahualam bishawab.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM