Berharap Tepuk Tangan

 


“Jika hanya butuh tepuk tangan, turunlah dari kekuasaan. Pergilah ke panggung hiburan, di sana tidak pernah sepi dari tepuk tangan.”

 

ALKISAH pada suatu zaman, ada seorang raja yang gila pujian. Tak peduli apa yang dilakukannya, para penggawanya senantiasa memuji dan bertepuk tangan. Kapan tidak ada pujian dan tepuk tangan, kerlingan mata Sang Raja yang tajam dengan beragam makna akan mengarah ke wajah penggawa. Tak butuh waktu lama, penggawa tersebut bakal menanggalkan jabatannya.

Hingga pada suatu hari, Sang Raja berjalan di tengah kampung meninjau kebersihan lorong dan rumah

warga. Sepanjang jalan, warga sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada sambutan, pujian, dan tepuk tangan. Terlihat tumpukan sampah di pekarangan dan pinggir jalan.

Sang Raja murka. Ia menitahkan penggawa di kampung itu untuk mengumpulkan semua rakyat. Laki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak tak terkecuali. Semua dikumpulkan di tanah lapang.

Sang Raja ngomel tak tentu arah. “Kenapa tidak ada sambutan? Kalian sama sekali tak menaruh hormat padaku!” teriak Sang Raja.

“Bukankah aku telah bangunkan kalian jalan yang mulus. Tidak ada lagi gelap malam. Semua terang?” kata Sang Raja.

“Apalagi yang kurang?” teriak Sang Raja.

Semua diam. Setelah sekian lama, akhirnya seorang pemuda memberanikan diri bicara.

“Wahai Raja. Ada satu hal yang Baginda tidak pahami. Kami rakyat hanya butuh makan, untuk bertahan

hidup. Kami butuh hunian, untuk berlindung dari panas dan berteduh kala hujan. Untuk apa Baginda menghamburkan uang kerajaan, kalau hasilnya hanya selembar piagam dan piala sebagai penghargaan.

Sudah berapa banyak uang kerajaan terbang untuk memperindah kampung yang tetap kotor saat hujan.

Baginda, coba bandingkan dengan anggaran mengentaskan warga kesusahan?” ujar Sang Pemuda.

Mata Sang Raja mulai mengerjap, bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Baginda, lihatlah berapa banyak dari kami yang kesusahan, tidak mendapatkan pekerjaan. Hitunglah

berapa tinggi angka kemiskinan. Baginda, masih banyak warga yang terkena musibah belum mendapatkan hunian. Bukankah itu semua janji Baginda sebelum dinobatkan?” sergah Sang Pemuda.

“Jika baginda hanya butuh penghargaan, jika Baginda hanya butuh tepuk tangan. Mohon maaf, segeralah turun dari kekuasaan. Pergilah ke panggung hiburan, di sana tidak pernah sepi dari tepuk tangan,” nasihat Sang Pemuda tanpa sandal.

Sang Raja terdiam. Dalam hati kecilnya, ia bergumam. “Benarkah yang ia katakan?”

Pertemuan hari itu berlalu, sepi tanpa pujian dan tepuk tangan.

Hari ini, kita banyak menemukan orang yang terobsesi dengan penghargaan. Teramat mudah terbuai tepuk tangan.

Crazy rich merupakan kasus nyata, harapan pada tepuk tangan membuat orang menghalalkan segala cara.

Dalam kasus lainnya, banyak pejabat menggelar program untuk mengejar prestise, tidak berlandaskan kebutuhan real rakyat.

Wallahualam bishawab. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM