Kapan Pandemi COVID-19 Menjadi Endemi?

 Oleh: Temu Sutrisno

Hampir dua tahun masyarakat Indonesia dan seluruh dunia menghadapi pandemi COVID-19. Berulang kali Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat harus siap menghadapi transisi dari pandemi menuju endemi COVID-19. Masyarakat harus siap hidup berdampingan dengan COVID-19.

Pada pidatonya tanggal 10 September 2021, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah harus mulai bersiap untuk transisi dari pandemi menuju endemi, serta belajar hidup bersama dengan COVID-19. Selain itu, Presiden juga menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk tetap menjaga protokol kesehatan, meskipun COVID-19 telah berubah menjadi endemi.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menghindari virus corona, meski pandemi telah berubah menjadi endemi?

Belajar dari pengalaman menghadapi COVID-19 selama pandemi, setidaknya ada tiga hal yang menjadi kunci yakni tetap mematuhi protokol kesehatan, melakukan vaksinasi sekurang-kurangnya 70 persen dari populasi, dan tidak euporia berlebihan saat dilakukan pelonggaran aktivitas masyarakat.

Mengacu pada tiga hal tersebut, kita mencoba mengukur kesiapan masyarakat menuju transisi dari pandemi menuju endemi.

  1. Kepatuhan Terhadap Prokes

Tidak mudah mengubah perilaku masyarakat. Virus COVID-19 hingga kini belum sepenuhnya hilang, meskipun kasusnya terus melandai. Di tengah pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat  (PPKM) sebagian masyarakat mulai beraktivitas tanpa memerhatikan protokol kesehatan.

Terlihat aktivitas di pasar-pasar tradisional, sebagian besar pengunjung mengabaikan pemakaian masker. Demikian halnya di tempat wisata, atau tempat keramaian lainnya.

Menurut Ketua Tim Surveilans Dinkes Kota Palu, dr Rochmat Jasin, kondisi itu dipicu sebagian masyarakat  yang kurang memahami bahaya COVID-19.

Ditegaskan dr Rochmat, sifat virus COVID-19 menular dan dapat berkembang biak. Olehnya protokol kesehatan merupakan hal vital dalam setiap aktivitas. 

Ketidakpatuhan terhadap Prokes lanjut dr Rochmat, juga dipicu banyaknya informasi hoaks di media sosial. 

Protokol kesehatan mestinya menjadi kebiasaan baru masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari kebiasaan hidup selama dua tahun terakhir. Ini merupakan modal penting sehingga masyarakat itu semakin siap jika ternyata ada varian baru lagi yang melanda.

Jika pemerintah menargetkan endemi COVID-19 pada tahun depan, maka masih butuh kerja keras untuk ‘kembali’ menyadarkan masyarakat pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Tanpa kepatuhan yang tinggi, pandemi COVID-19 bisa jadi masih akan berlangsung untuk waktu yang lama.

  1. Vaksinasi

Berdasarkan data Satgas COVID-19 per Kamis (11/11/2021), secara keseluruhan Kemenkes mencatat setidaknya 128.147.345 orang telah menerima suntikan dosis pertama vaksin virus corona dan 81.711.099 orang menerima dua dosis suntikan vaksin COVID-19.

Dengan demikian, target vaksinasi pemerintah dari total sasaran 208.265.720 orang baru menyentuh 61,53 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 39,23 persen.

Kementerian Kesehatan menyebut pandemi COVID-19 dapat turun level kewaspadaan wabah menjadi endemi jika 70-100 persen warga telah menerima vaksin COVID-19 secara lengkap.

Angka 70-100 berkaitan dengan teori  herd immunity alias kekebalan komunal. Herd immunity baru bisa terbentuk jika 70 persen penduduk sudah memiliki imunitas baik melalui vaksin atau riwayat pernah terinfeksi.

Mengacu pada data di atas dan ambang batas minimal 70% penduduk menerima vaksin lengkap, maka butuh upaya ekstra. Kerja keras pemerintah juga harus diikuti kesadaran dan sikap partisipatif masyarakat.

  1. Euporia terhadap pelonggaran kegiatan

 Mengendalikan pandemi COVID-19 jauh lebih penting dibandingkan dengan menghilangkannya. Pasalnya COVID-19 tidak mungkin bisa dihilangkan dengan cepat. Sebagaimana diketahui saat ini kasus COVID-19 di Tanah Air sudah menurun secara signifikan. Meski demikian pandemi COVID-19 masih belum berakhir. Terbukti sejumlah negara tetangga sedang mengalami peningkatan kasus COVID-19. 

Masyarakat yang merasa dua tahun terbelenggu, tidak boleh euporia berlebihan menyambut pelonggaran kegiatan dan menurunnya kasus COVID-19. Euporia berlebihan berdampak pada menurunnnya kewaspadaan terhadap potensi penyebaran COVID-19.

Belajar dari beberapa Negara eropa seperti Rusia, Jerman, Italia, dan bahkan Negara tetangga, Singapura yang telah melakukan pelonggaran, COVID kembali mengganas.

Pada akhirnya, semua kembali pada kesadaran masyarakat dan gerak cepat pemerintah untuk mengadopsi gaya hidup baru dengan terus menegakkan protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19 yang semakin massif. Tanpa itu, pandemi tak akan beralih ke endemi dalam waktu dekat.*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM