Kajuru-juru


DULU, para orang tua sering menasihati anak-anaknya agar tidak terburu-buru atau tergesa-gesa ketika melakukan sesuatu. Pesan bijak lainnya, jangan memulai langkah dengan gegabah sehingga muncul masalah, karena tak akan lari gunung dikejar.

Nasihat ini lahir, karena para orang tua yang bijak bestari memahami benar, bahwa ketergesa-gesaan adalah salah satu sifat manusia. Olehnya sejak dini, anak-anak harus diingatkan agar tidak terjebak pada sikap dan perilaku terburu-buru, tergesa-gesa, dan gegabah.

Terburu-buru, tergesa-gesa, dan gegabah memiliki makna yang hampir sama, yakni sikap, melakukan sesuatu, atau mengambil keputusan tanpa pikir panjang.

Dalam percakapan orang di Palu atau umumnya Sulawesi, terburu-buru, tergesa-gesa, atau gegabah padanan kata yang tepat (mungkin) kajuru-juru.

Sikap atau perbuatan yang dilakukan dengan kajuru-juru, biasanya mengabaikan banyak hal, diantaranya aturan, kewenangan, dan bisa jadi juga etika. Kajuru-juru lebih mempertimbangkan kecepatan daripada hal lainnya.

Seperti kisah seorang Kepala Kampung. Konon Sang Kepala Kampung telah mengumumkan akan mengangkat seseorang untuk menempati jabatan tertentu di kampungnya. Mungkin Kepala Kampung lupa, bahwa ia hanya punya kewenangan mengusulkan, bukan mengangkat dan menetapkan.

Walhasil, Pejabat di atas Sang Kepala Kampung merasa tersinggung. Sang Pejabat merasa dilangkahi, karena Kepala Kampung secara administratif belum mengusulkan secara resmi, namun nama-nama yang akan ‘diangkat’ telah beredar di luar. Ketersinggungan ini juga masuk ranah etika. Bagaimana tidak? Penetapan dan pengangkatan bukan kewenangan Kepala Kampung. Kepala Kampung hanya sampai batas mengusulkan.

Bukan hanya soal pengangkatan aparat, terhembus kabar Kepala Kampung juga melakukan rapat pemegang saham badan usaha milik kampung, tanpa sepengetahuan Dewan Pengawas. Padahal Dewan Pengawas merupakan salah satu pemegang saham.

Tak urung, hal itu juga menimbulkan penolakan dari Dewan Pengawas.

Lagi-lagi, langkah ini menimbulkan masalah. Kepala Kampung sebagai pemegang saham pengendali telah terlanjur menetapkan dan mengangkat dewan direksi dan komisaris badan usaha milik kampung.

Jika Dewan Pengawas sebagai salah satu pemegang saham minta rapat umum pemegang saham (RUPS) diulang, tidak menutup kemungkinan akan ada perubahan dewan direksi dan komisaris.

Apatah lagi, penempatan dan pengangkatan dewan direksi berdasarkan angin informasi, tidak melalui uji kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Jika boleh berandai-andai, Dewan Pengawas minta RUPS diulang, Dewan Perwakilan Rakyat minta dilakukan uji kepatutan, boleh jadi susunan dan personalian dewan direksi berubah.

Menjadi persoalan, jika sebelumnya para personalia dewan direksi sudah sejak awal dijanjikan posisi. Jangan sampai berlaku peribahasa, “murah di mulut, mahal di timbangan”. Mudah sekali berjanji tetapi sulit menepati. Mungkin janji-janji yang membuat orang kerap kajuru-juru.

Namun apapun kondisinya, Kepala Kampung dan pejabat di atasnya, Kepala Kampung dengan Dewan Pengawas harus tetap saling komunikasi. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, sepanjang kedua pihak membangun komunikasi dengan baik. Wallahualam bishawab. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM