Nangoa Berujung Naonga

 





Oleh: Temu Sutrisno

MERCUSUAR-Konon di sebuah daerah, jauh hari sebelum genderang pemilihan ditabuh, salah seorang politisi memasang baliho berukuran besar dimana-mana. Hampir di setiap perempatan dan tempat strategis terpampang wajahnya,dibumbui senyum dan tentu saja tulisan bakal calon kepala daerah. Malah sebagian telah lengkap dengan pasangannya dan partai yang bakal mengusung. Di media, juga santer diberitakan akan maju dalam kontestasi politik dan yakin bakal diusung partai tertentu.

Bisik-bisik di warung kopi, di emperan kaki lima, dan pos ronda, yang bersangkutan bertekad maju sebagai kepala daerah, bukan wakil. Tawaran kandidat lain untuk menjadi wakil, berkali-kali ditolak. Maunya langsung pada posisi kunci. Mungkin ini yang dimaksud nangoa, terlalu mau.

Ada juga kandidat lainnya. Sebenarnya yang bersangkutan partai pengusungnya sudah cukup sesuai jumlah kursi atau suara yang disyaratkan peraturan perundang-undangan. Maunya sebanyak mungkin partai yang ada dirangkul untuk mengusungnya. Alih-alih menyisakan partai untuk kandidat lain. Kalau bisa semua partai diborong. Lagi-lagi, mungkin ini yang dibilang nangoa.

Kandidat bersangkutan bersama timnya mungkin lupa, demokrasi di negeri ini sering tidak sejalan dengan teori sosiologi politik yang ada. Semakin banyak partai pengusung, pasti jadi. Semakin besar pundi-pundi, semakin besar peluang terpilih. Belum tentu.

Budaya politik masyarakat, bukan budaya parochial, yang mudah nurut pada  maunya orang  atau partai tertentu.

Pilihan atau sikap apatis pemilih juga tidak selamanya ditentukan modal kapital, laiknya teori Frank Lindenfeld yang mengedepankan kepuasan ekonomi. Politik sangat cair. Pilihan dipengaruhi banyak faktor dan variabel, bukan sekadar banyak partai dan besar kecilnya isi rekening.

Banyak kejadian dalam pemilihan, kandidat yang naik ke tampuk kekuasaan tidak mesti yang diusung banyak partai. Malah, ada kandidat kalah lawan kotak kosong. Begitu juga kandidat partai dalam berbagai pemilihan takluk di kaki peserta independen atau calon perseorangan. Kandidat yang tidak dilirik dan diusung partai politik.

Dua model kandidat  seperti ini bisa saja naonga-tenggelam, tidak mendapat apa-apa. Hati-hati, jangan karena sikap nangoa walhasil malah naonga.

Kita memang sering mendengar nasihat, “Jangan berlebihan. Berlebihan itu tidak baik.”  Kenapa? Karena sikap berlebihan, membuat manusia susah bersyukur. Kita tidak mensyukuri yang ada, maunya semua menjadi milik kita. Seperti kasus tadi, ditawari jadi wakil, maunya jadi kepala. Cukup dua atau tiga partai, maunya banyak atau semua partai.

Kenapa kita diajarkan tidak nangoa? Agar kita tidak mudah menyepelekan sesuatu. Orang nangoa, biasanya menyepelekan sesuatu yang kecil, yang sedikit. Padahal  yang besar dan banyak belum tentu memberikan manfaat dan kebaikan.

Esensi pemilihan, bukan pada banyak sedikitnya pengusung. Tapi seberapa besar pemilih melabuhkan pilihannya. Dalam proses pemilihan, bukan sekadar banyak sedikitnya tim, tetapi sejauh mana strategi yang diterapkan efektif menyentuh hati dan pilihan pemilih.

Esensi pengabdian bukan pada kepala daerah atau wakil kepala daerah, namun seberapa besar kita bermanfaat untuk daerah dan orang banyak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang ada. Sebaik-baik orang adalah yang memberikan banyak manfaat. Begitu pula dengan orang-orang yang menjalankan amanah dengan baik, apapun posisinya.

Seyogyanya menjauhi sikap nangoa, agar lebih gampang bersyukur, lebih bisa mengerti arti kehidupan, dan lebih menikmati segala hal di dunia ini. Hati-hati, sikap nangoa bisa menjerumuskan dan membuat orang jadi naonga. Wallahualam bishawab.***


Tana Kaili, 3 September 2020

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM