Mau Maju, tak Maju-Maju

Oleh: Temu Sutrisno

 

MERCUSUAR-Sepekan jelang pendaftaran bakal calon kepala daerah di Pilkada 2020, diskusi di berbagai tempat dan media sosial cukup menarik.

Salah satunya, ada orang yang menganggap dirinya tokoh dan ‘selalu’ berhasil mengantarkan kandidat ke tampuk pemerintahan dan legislatif.

Ada klaim, orang-orang yang dekat dengannya mendapatkan keuntungan dan nilai positif dalam kontestasi politik.


Sesumbar itu lantas ditanggapi masyarakat dalam sebuah media sosial, pemilih rasional harus bisa menilai orang dengan melihat rekam jejaknya. Ada orang yang menokohkan diri sendiri, dan kerjanya hanya mendorong-dorong orang lain. Ia tidak punya keberanian bertarung sendiri. Bisa jadi ia takut kalah dan turun derajat ketokohannya.

Sosok seperti itu tentu berbeda dengan orang yang berani maju bertarung, dengan kesiapan menerima segala konsekuensinya.

“Terlihat mana orang yang katanya mau maju, tapi tidak maju-maju. Kerjanya hanya dorong-dorong orang. Tidak berani maju. Beda dengan sosok lain, yang tegas dari awal mau maju, dan terus berjuang untuk maju.” Hehehehe.

Ah, penilaian itu bisa salah bisa benar. Bukankah petinju yang paling jago sekalipun butuh promotor? Mungkin yang sukanya mendorong-dorong, memosisikan dirinya bukan sebagai petinju, tapi promotor. Mungkin juga sosok itu, takut dirinya bakal kalah kalau maju. Makanya lebih suka mendorong-dorong.

Ada juga sosok yang mengaku telah berbuat banyak untuk rakyat dan daerah. Meski saat ditelisik dengan cermat, teramat tipis bedanya berbuat untuk rakyat dan daerah dengan berbuat untuk diri sendiri dan kelompoknya. Aaahhhhaa.

Wacana jelang Pilkada memang unik. Sekali lagi juga ada sosok yang menganpanyekan dirinya lebih merakyat dan sederhana. Lho apa iya? Bukankah yang diincar adalah posisi kepala daerah, yang berarti juga ‘kepala rakyat’. Merakyat itu sama artinya dia bukan rakyat, hanya seperti rakyat. Hehehe, mungkin yang bersangkutan sudah bosan jadi rakyat. Padahal rakyat bosnya para pejabat. Hehehehe.

Sosok lainnya melangkah lebih jauh. Dia maju sebagai kandidat, mencitrakan dirinya sebagai kebalikan sosok lain yang dinilai kurang beriman. Wow, bukankah hanya Tuhan yang berhak dan bisa menakar iman seseorang?

Bukan hanya itu, masih banyak sosok lain dengan gaya dan slogan berbeda sebagai penanda citra dirinya.

Wacana politik dan klaim sosok-sosok seperti itu dalam iklim demokrasi, sah-sah saja. Semua anak bangsa boleh mengekspresikan suasana batinnya dalam politik praktis. Tidak perlu ada yang saling tersinggung dan jatuh-menjatuhkan. Toh semua basudara, satu bangsa, satu tanah air.

Pencitraan terhadap masing-masing sosok tak lebih sebagai strategi market politik. Pun penilaian orang dan pemilih terhadap sosok tertentu, juga bagian dari dinamika politik.

Pada akhirnya, Pilkada di era masyarakat yang serba instan, masyarakat maunya serba cepat dilayani dan diwujudkan keinginannya, tetap tidak akan mampu melahirkan kepala daerah ala Doraemon, yang bisa menyelesaikan semua masalah hanya berbekal satu kantong ajaib. Cukup menonton kartun Doraemon, jangan mencari dan berharap kepala daerah ala Doraemon. Hehehehehe.

Menyambut Pilkada, jangan lupa tetap selalu tersenyum dan menjaga kerukunan dengan orang sekitar, meski beda pandangan dan pilihan politik. Ayo tersenyum untuk orang sekitarmu, karena senyum bukan saja menyehatkan, tapi juga amal jariyah paling murah yang membahagiakan.***

 

Tana Kaili, 28 Agustus 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM