Koro, Korona, dan Lockdown

Oleh: Temu Sutrisno



Hampir tidak ada yang tidak kenal Korona, di dunia ini. Dua bulan terakhir, virus Korona atau Covid-19, menjadi perhatian khalayak dunia, karena penyebarannya yang begitu cepat dan memakan ribuan korban jiwa dan ratusan ribu orang terjangkit.

Torijono, yang bermukim di bawah kaki gunung di daerah Sulawesi Tengah, juga mengkuti perkembangan Korona. Sebagai rakyat kecil –dan bukan ahli pemerintahan apalagi ekonomi- Torijono kaget saat ada petinggi di daerah yang mengusulkan lockdown, sebagai upaya mengurangi sebaran virus Korona.

“Apa itu lockdown?” batin Torijono.

Buru-buru Torijono, menuju kantor kecamatan mencari wifi, jaringan internet gratis. Di pojok kantor kecamatan Torijono, buka-buka Hapenya, dan mencari pengertian lockdown.

“Oh, lockdown rupanya penutupan wilayah dan pembatasan kegiatan publik di area terbuka. Semua harus beraktivitas di rumah,” guman Torijono, setelah membuka-buka Hapenya.

Status lockdwon adalah tindakan yang dilakukan pemerintah dengan "memaksa" menutup sejumlah tempat dan kawasan. Lockdown adalah situasi yang melarang warga untuk masuk tempat atau keluar tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.

Mata Torijono menerawang. Rakyat kecil seperti dirinya, tidak bisa membayangkan gerak hidupnya dibatasi. “Bagaimana saya cari makan? Tidak ada lockdown saja, kerja hari ini syukur-syukur cukup untuk makan satu dua hari,” pikirnya.

Mungkin bagi mereka yang punya simpanan, punya tabungan bisa membeli banyak bahan pangan dan tidak ada masalah dengan lockdown.

“Orang seperti saya, mau makan apa? Apa pemerintah atau yang usulkan lockdown bisa tutupi kebutuhan orang miskin seperti kami selama lockdown?”

Torijono teringat saat kampung halamannya luluh dihantam gempa, karena gerakan sesar Palu-Koro. Tidak cukup satu hari Om Koro mengguncang, masyarakat panik dan menimbun berbagai bahan pangan dengan segala cara.

“Lha kalau lockdown dan masyarakat panik bagaimana?” Torijono tidak bisa memperkirakan dampak lockdown.

“Ah, semoga tidak terjadi kepanikan masyarakat, seperti awal Om Koro mengguncang”.

Torijono membaca  berita di beberapa negara telah melakukan lockdown. Di Belanda, Inggris, Malaysia dan beberapa negara lain, terjadi kepanikan. Warga ramai-ramai menyerbu pusat pembelanjaan memborong kebutuhan hidup.

Torijono hanya berharap, penanganan Korona tidak menyebabkan kepanikan seperti saat Om Koro mengguncang. Sangat keterlaluan jika penanganan terhadap virus korona menjadi agenda politik. Lockdown hanya untuk pencitraan, tanpa hitung-hitungan matang. Hanya sekadar lontaran politik, disaat kontestasi Pilkada mulai menghangat.

Ada baiknya penanganan Korona tidak diperpolitikkan. Perbedaan politik harus dihilangkan dulu agar semua pihak bisa melawan virus mematikan ini secara bersama-sama.

Bisakah perlawanan terhadap Korona tidak jadi gorengan politik? Bisa, selama semua pihak menjauhkan kepentingan politik dan berfikir demi kemaslahatan bersama.

"Semoga ada cara melawan Korona, selain lockdown".

Tak terasa matahari kian menyengat. Torijono segera beringsut meninggalkan pojokan kantor camat, bergegas meneruskan kerjanya yang belum selesai.***



Tana Kaili, 18 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM