UU MD3 dan Kegaduhan Hukum


Oleh: Temu Sutrisno


DPR melalui sidang paripurna (Senin,12/2/2018) menyepakati pengesahan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi undang-undang. Ada sejumlah poin dalam pasal-pasal di UU MD3 yang menjadi catatan banyak pihak, salah satunya imunitas anggota DPR dan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk melaporkan orang dan badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. 
Imunitas itu tercermin dari dua pasal yang bertolak belakang dalam UU MD3, yakni Pasal 73 dan Pasal 245. Pada Pasal 73 yang mengatur tentang fungsi pengawasan DPR, salah satunya berisi tentang DPR bisa memanggil paksa seseorang untuk diperiksa melalui permintaan tertulis kepada Kapolri.
Di sisi lain, anggota DPR tidak bisa begitu saja dipanggil aparat penegak hukum, baik sebagai saksi maupun tersangka, terkait kasus pidana tanpa izin presiden. Pemanggilan anggota dewan kini harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Aturan pemanggilan anggota DPR ini diatur dalam Pasal 245.
Kedua pasal ini mengindikasikan strategi DPR dalam melangkah di masa mendatang. Dengan modal dua pasal itu, DPR bisa memainkan strategi defensif ketika berhadapan dengan hukum, tapi ofensif saat memanggil paksa seseorang.
Keistimewaan kewenangan dan hak DPR ini bisa berimplikasi buruk bagi penegakan hukum dan proses demokrasi di Indonesia. Sebab anggota DPR dikhawatirkan akan banyak menggunakan Pasal 245 untuk mengelak ketika diduga memiliki kasus hukum.
Pasal 245 juga dikhawatirkan perlindungan  perilaku koruptif dan penyalahgunaan kewenangan yang tak sehat dari oknum anggota DPR, agar terhindar dari proses hukum.
Pada Pasal 73, anggota DPR diperkenankan menggunakan instrumen kepolisian untuk memanggil pihak tertentu dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan. DPR seakan-akan menempatkan dirinya sebagai lembaga yang bisa menyetir yudikatif. Sebab, kewenangan pemanggilan paksa di Indonesia hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaaan, maupun KPK. Sedangkan DPR secara konstitusional merupakan lembaga legislatif,  yang secara limitatif  dibatasi pada fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi. Terjadi pergeseran kewenangan DPRD sebagai legislatif  menjadi yudikatif-penegak hukum.
Berikutnya adalah penerapan Pasal 122 huruf k. Penerapan pasal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan hukum. Pasal 122 huruf k yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk melaporkan orang dan badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. 
Pasal ini sangat multitafsir. Dalam penerapannya di kemudian hari, akan banyak defisi dan pandangan hukum berbeda dari pihak pengadu dan teradu. Pengadu dan teradu bisa memiliki definisi berbeda terkait frasa merendahkan DPR dan anggota DPR.
Bisa jadi, anggota DPR akan dengan mudah mengadukan pengkritiknya, dengan pendekatan pasal ini. Pasal ini sangat lentur layaknya pasal karet- haatzai artikelen, tergantung pada pihak (DPR) yang berkepentingan menggunakannya.
Secara subtantif, MKD juga bukan penegak hokum, sebagaimana DPR secara kelembagaan yang merupakan legislative. MKD dibentuk untuk mengurusi kehormatan anggota DPR yang diduga melanggar kode etik dan/atau peraturan perundang-undangan. Dengan kembali ke semangat pembentukan MKD, jelas MKD bukan lembaga penegak hukum yang berwenang mengatur pihak luar anggota dewan. Penetapan MKD sebagai lembaga internal DPR yang bertugas melakukan penegakan hukum untuk publik, merupakan sesat pikir dalam perumusan norma pada pasal tersebut. Ada pelampauan kewenangan MKD sebagai penegak etik internal DPR.
Pasal-pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) bakal menyeret kehidupan bernegara mundur ke era antikritik. Jika langkah-langkah progresif tidak ditempuh oleh berbagai pihak yang masih memiliki otoritas untuk mengoreksi pasal-pasal tersebut. Kemunduran itu tidak semata-mata terkait dengan DPR sebagai representasi rakyat, tetapi juga akan menihilkan perjuangan demokrasi sejak reformasi digaungkan. Jangan sampai pasal-pasal tersebut menjadi penanda matinya demokrasi, karena tidak sesuai dengan nafas konstitusi yang melindungi warga untuk menyatakan pendapat dan berkedudukan sama di hadapan hukum.  Wallahu alam bishshawab. ***

Penulis adalah Wartawan Utama Tri Media Group.


Komentar

  1. Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
    Kesempatan Menang Lebih Besar,
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM