Tonakodi-Terlalu Banyak, Terlalu Mau


Oleh: Temu Sutrisno



MERCUSUAR-September 2019, genderang pemilihan kepala daerah (Pilkada) mulai ditabuh. Pemilihan yang bakal digelar setahun lagi, telah memunculkan banyak figur yang berkeinginan turut berkontestasi.  Sejauh ini, sudah puluhan kandidat menyatakan keinginannya maju sebagai bakal calon bupati, wali kota, dan gubernur.

Banyaknya kandidat yang berniat maju jauh hari menunjukkan sistem politik sangat terbuka dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Pilkada yang telah digelar sejak 2005, sekurang-kurangnya tidak membuka ruang perlakuan berbeda, pada rakyat yang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pemilihan, baik sebagai kandidat (right on candidat) maupun sebagai pemilih (right to be vote).

Banyaknya kandidat yang muncul, bisa jadi juga memudahkan pemilih untuk mengenal, memilah, dan memilih orang yang tepat. Sederhanya, makin banyak calon, makin banyak pilihan. Siapa bakal dipilih? Masih cukup panjang waktu bagi pemilih untuk menimbang dan menilai setiap kandidat.

Apakah banyaknya kandidat yang muncul, berhubungan langsung dengan kualitas demokrasi (pemilihan) di daerah?  Saat ini kita dihadapkan pada tiga fenomena sosial yang mengharuskan adanya evaluasi atas sistem, kultur, dan aturan berdemokrasi. 

Pertama, sistem demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah yang menggantungkan kedaulatan rakyat, ternyata tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang bertindak sesuai aspirasi rakyat. Kebutuhan rakyat ke laut, kebijakam, program dan kegiatan ke gunung.

Kedua, penyelenggaraan pemerintahan cenderung tidak stabil, tidak efektif dan cenderung terjadi politisasi jabatan dalam birokrasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur  Sipil Negara yang mengamanatkan lelang jabatan, kerap kali dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban administratif. Kepala daerah, jauh di hatinya telah memiliki calon tertentu untuk ditempatkan pada jabatan-jabatan tertentu. Pasal 1 angka 22 UU ini jelas-jelas mengatur kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja  secara   adil   dan   wajar   dengan   tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

 Ketiga, berjalannya demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ekonomi masyarakat tidak serta merta bergerak maju dan produktifitas masyarakat meningkat. Perputaran uang di tengah masyarakat membesar, hanya pada masa kampanye pemilihan. Hal itu terjadi, karena pemilihan kepala daerah, masih banyak yang bergantung pada kekuatan logistik daripada  integritas dan kapasitas calon.

Permasalahan lainnya, banyaknya kandidat yang muncul juga didominasi nama-nama dan muka-muka lama. Ada kandidat yang merupakan pemain lama, keluarga pejabat, atau orang-orang yang sudah duduk dalam jabatan. Sebagian dari mereka mungkin mengidap power syndrome, sudah berkali-kali duduk dalam jabatan politik, pemerintahan ataupun jabatan publik. Mereka tetap menatap lubang jarum Pilkada, untuk duduk di kekuasaan. Meminjam istilah orang Palu, terlalu mau. Ada juga istilah so dorang samua, macam teada yang lain.

Ada juga kandidat muka baru. Masyarakat tidak begitu mengenalnya, kecuali senyum manis (yang mungkin dibuat-buat) yang menghiasi baliho. Pada akhirnya, banyaknya kandidat, tidak memiliki korelasi terhadap peningkatan kualitas demokrasi, justeru yang muncul sikap apatis masyarakat.

Mumpung waktu masih panjang, masyarakat harus mulai waspada, belajar cerdas menilai dan merasakan dengan hati, mana kandidat yang  kelewat ambisius dan mana yang dalam batas kewajaran.

“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. (HR. Bukhari). ***





Palu, 20 September 2019

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM