Bangkit Bergerak




Esok hari, bencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang menimpa Sulteng, khususnya Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala) 28 September 2018, genap setahun.  Bencana itu telah membuka ruang pembelajaran bagi bagi pemerintah dan masyarakat, menanggulangi bencana. Bencana, sebagaimana rahmat dan keberuntungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, laiknya siang dan malam.
Pandangan seperti ini, akan memberikan arah panduan pada manusia bagaimana mengelola alam, termasuk risiko bencana didalamnya. Dengan kondisi Sulteng yang rawan bencana, dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan manajemen bencana. Sinergi, bukan saling menyalahkan.
Pada dasarnya, pengurangan risiko bencana harus menjadi mainstream aktivitas manusia dan pembangunan. Mainstream ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan. Semua dituntut siaga, menghadapi bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Setiap kali bencana terjadi, pemerintah atasnama negara dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam rangka menangani bencana, mulai dari masalah antisipasi dini sampai pada proses penanganan dampak yang ditimbulkannya. Tanggungjawab pemerintah, sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sebagai perangkat hukum perlindungan bagi korban bencana.
Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang dimaksud adalah bahwa Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Jika ditelisik, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 belum sepenuhnya mampu mengakomodir hak-hak warga negara yang dilanda bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebut secara eksplisit bahwa lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dan/atau bertanggung jawab dalam penanganan bencana.
Pembukaan UUD NRI Tahun1945 tegas menyatakan, bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana alam, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.
Pasal 28H ayat (1) menyatakan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal inilah yang menjadi landasan dalam menjamin hak-hak korban bencana alam.
Bencana juga mengajarkan pada manusia untuk memahami arti tumakninah dalam salat. Tumakninah atau biasa ditulis tuma’ninah, merupakan istilah dalam salat. Tumakninah adalah berhenti sejenak atau tenang dalam posisinya setelah bergerak.
Tumakninah dalam salat artinya diam sekejap di setiap gerakan salat. Dalam setiap gerakan salat, seperti ruku, iktidal, sujud, duduk di antara dua sujud, maka harus ada waktu untuk diam meskipun sekejap.
Pasca bencana, hampir semua aktivitas warga tidak berjalan normal. Banyak alasan, mulai dari sarana produksi, infrastruktur, modal yang tergerus, hingga persoalan psikologi yang membuat aktivitas  sejenak berhenti.
Bisa jadi bencana yang menerjang, bagian dari rencana Allah Tuhan Yang Maha Kuasa agar manusia bisa tumakninah, lebih tenang dan tidak grasa-grusu dalam segala hal.
Pada akhirnya bencana yang telah terjadi, selalu memberikan hikmah bahwa ada kedaulatan Allah SWT diatas kuasa manusia. Allah ingin membimbing dan menyadarkan manusia, bahwa dibalik bencana masih ada kasih sayang-Nya, sehingga siapapun yang selamat dari bencana harus instropeksi dan meningkatkan kualitas kehambaannya, karena dia selamat belum tentu sebagai ummat yang terbaik. Bisa jadi, mereka yang selamat hanya sekadar diberi perpanjangan waktu untuk menjalankan fungsi kekhalifahan dan kehambaan di muka bumi. Disuruh bertobat, memperbaiki diri, dan terus berbuat kebaikan di muka bumi. Hikmah lainnya, Allah tidak akan memberikan beban pada hamba-Nya, diluar kemampuan hamba, dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah tumakninah pasti ada gerakan. Kini saatnya kita bergerak, bergerak, dan terus bergerak bangkit bersama untuk kehidupan  yang lebih baik.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM