Tonakodi-Air Nuts dan Nepotisme


Oleh: Temu Sutrisno

MERCUSUAR-Tanggal 5 Desember2014, dunia penerbangan dikejutkan dengan insiden yang dikenal dengan istilah ‘Air Nuts’. Saat itu Heather Cho memerintahkan pilot Korean Airlines kembali parkir pesawat di Bandara  JF Kennedy, New York, Amerika Serikat setelah pesawat berjalan sekira tigapuluhan meter.
Heather Cho, kepala layanan kabin di Korea Airlines,marah pada pramugara karena menyajikan kacang mede dalam kemasan. Heather Cho menginginkan penyajian dalam wadah piring. Pilot tidak bias menolak perintah sang kepala layanan kabin. Musababnya sederhana, Heather Cho adalah putri Bos maskapai Korean Airlines Cho Yang-ho. Feather Cho mengeluarkan pramugara dari pesawat, meski yang bersangkutan telah berkali-kali meminta maaf.
Melihat itu, masyarakat marah. Tindakan Heather Cho membahayakan keselamatan penerbangan. Tekanan terhadap posisi putri kesayangan Cho Yang-ho menguat. Akhirnya Cho meminta maaf pada publik dan memecat putrinya dari jabatan strategis di Korena Airlines.
Sejatinya, penempatan Heather Cho pada jabatan strategis perusahaan yang dikelola ayahnya lazim dilakukan, hampir sebagian orang di dunia. Menempatkan anak, keluarga, atau orang dekat pada posisi strategis, selama ini lebih dikenal dengan sebutan nepotisme. Penempatan tidak memperhitungkan kompetensi dan integritas yang bersangkutan.
Nepotisme bukan hanya terjadi dalam dunia bisnis. Praktiknya dalam dunia politik dan birokrasi pemerintahan, hal tersebut juga banyak terjadi. Seorang petinggi partai politik menyalonkan suami, istri, anak, dan keluarga lainnya sangat mudah dilacak di negeri ini. Pun demikian dengan kepala pemerintahan menempatkan adik, kakak, ipar, anak, dan keluarga dekat lainnya dalam jajaran birokrasi juga kasat mata. Lelang jabatan seringkali hanya formalitas belaka. Sekadar menggugurkan prosedur peraturan perundang-undangan. Dalam hati kecil pemegang kuasa, istri, anak, dan keluarganya harus menduduki jabatan yang diinginkan. Mumpung masih duduk di kekuasaan, manfaatkan peluang yang ada.
Belajar dari kasus ‘Air Nuts’, penempatan orang tanpa memperhitungkan kemampuannya, berdampak buruk. Bisa jadi, kompetensinya memungkinkan, namun secara etis patut dipertanyakan. Patut atau tidak patut, menempatkan keluarga dekat dalam berbagai posisi strategis. Apalagi jika masih ada sosok lain yang dinilai lebih mampu dan tepat menduduki jabatan-jabatan itu.
Pelajaran berharga lain soal nepotisme, juga diperankan Umar bin Khattab. Di detik-detik kematiannya, Umar berwasiat untuk tidak mengangkat anaknya Abdullah bin Umar menggantikan dirinya. Orang-orang  di sekitarnya bertanya, kenapa tidak Abdullah bin Umar saja yang menggantikannya? Umar menjawab, “Sekali-sekali tidak akan saya serahkan urusan ini kepada orang yang tidak mampu”. Umar menunjukkan pada dunia, sebagai pemimpin bijak yang tidak ingin anaknya tampil karena kuasanya.
Umar tidak ingin sepeninggal dirinya, berbagai persoalan muncul di tengah ummat karena kesalahannya menunjuk keluarganya mengurus kepentingan ummat dan menjaga kemuliaan Islam.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi. Ada seorang sahabat bertanya, bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. (HR Bukhari).
Rasa-rasanya kasus Air Nuts, pergulatan moral Umar, dan petunjuk Rasulullah tidak memiliki makna bagi mereka pelaku nepotisme. "Kalau bisa anakku, keluarga dekatku, mengapa pikir orang lain?" Kira-kira begitu jalan pikiran mereka. ***


Tana Kaili, 1 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM