Ramadan dan Janji Politik


 Oleh: Temu Sutrisno

Beberapa hari sebelum puasa Ramadan, saya bertemu teman dan diskusi seputar Pilkada yang akan dilangsungkan akhir tahun ini. Teman tersebut bertanya, apakah akan mendukung atau memilih kandidat yang sama dengan lima tahun lalu? Tegas saya sampaikan, bahwa saya akan mengevaluasinya.
Kenapa? Bukankah politik harus ada pilihan jelas dan keberpihakan? kat...a teman saya. Benar! Karena itu, saya harus mengevaluasi dan menilai (setidaknya dalam kacamata saya), apakah kandidat yang lalu didukung dan dipilih berhasil menjalankan visi-misinya dan memenuhi janji-janji politiknya? Demikian halnya dengan kandidat baru. Apakah visi-misi dan program yang ditawarkan rasional dan mungkin terlaksana? Saya, sebagaimana rakyat kebanyakan harus lebih cerdas dan rasional dalam menjatuhkan dukungan dan pilihan. Saya sampaikan pada teman tadi, Pilkada yang akan digelar Desember 2015, memberi waktu cukup panjang bagi para kandidat menebar janji politik. Lazimnya kompetisi, para kandidat dan timnya juga akan bersaing memperebutkan hati rakyat dengan janji manis. Tapi sekali lagi rakyat pemilih harus cerdas menetapkan dukungan dan pilihannya.
Saya yakin, para kandidat kepala daerah dan timnya, akan memanfaatkan momen apa saja untuk menyosialisasikan visi-misi dan program dalam janji-janji politiknya. Bahkan Ramadan pun akan dimanfaatkan untuk itu, dengan berbagai rupa. Mulai dari safari, tarwih bersama, buka puasa bersama, santunan danlain sebagainya. Di tengah acara itu, mereka akan ‘menitip’ pesan; Mohon dukungan dan Pilihannya. Apakah cara itu salah? Tidak. Sah-sah saja sosialisasi dan minta dukungan. Namun satu hal yang perlu diingatkan pada para kandidat dan timnya. Semua yang dijanjikan mulai dari visi-misi dan program akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, bukan hanya rakyat. Visi, misi dan program yang dijanjikan wajib dilaksanakan. Jika tidak terlaksana, merupakan dosa yang akan dimintai pertanggungjawaban di Mahkamah Ilahi, kelak di Yaumil Akhir.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Masail Asasiyah Wathaniyyah atau masalah kebangsaan. Salahsatu poin yang menjadi fokus adalah dosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya.
Fatwa dosa pemimpin yang tak menepati janji, berdasarkan fatwa MUI yang diputuskan dalam Ijtima Komisi Fatwa MUI 5 di Tegal 7-10 Juni 2015, berlaku bagi pemimpin (incumbent) ataupun calon pemimpin dalam bentuk apapun. Siapapun yang mengumbar janji dan mengingkarinya atau tidak mampu melaksanakannya dikategorikan dosa dan haram.
Sekadar mengingatkan, Rasulullah SAW dalam hadistnya mengecam tindakan tersebut dan mengingatkan para pemimpin untuk melayani rakyat dan menepati janjinya. “Abu Ja’la bin Jasar r.a berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang yang diamanati Allah memimpin rakyat, kemudian meninggal ia masih menipu rakyat, melainkan Allah mengharamkan baginya surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah SWT secara tegas memerintahkan pada seseorang yang telah berjanji untuk menepati janjinya, sebagaimana firman-Nya, “Tepatilah janji, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan dan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 34). Dalam ayat yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, tepatilah segala janji dan akadmu.” (QS. Al Maidah: 1)
Bukan hanya program dan kegiatan yang sering tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat, malah sering dijumpai seorang pejabat pilihan rakyat susah dijumpai dan bahkan ada yang sengaja menghindar ketemu rakyat yang nota bene menjadi konstituennya. Bagi orang-orang seperti ini, seyogyanya merenungkan ajaran Rasulullah SAW, yang disampaikan Ummul Mukminin Aisyah r.a, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku: Ya allah siapa yang menguasai urusan ummatku, lalu mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Dan barangsiapa mengurusi ummatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah urusannya”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, Abu Maryam Al’azdy r.a mengatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diserahi Allah mengatur kepentingan kaum muslimin kemudian bersembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak dia di hari kiamat”. (HR. Abu Dawut dan Attirmidzy)
Mengacu pada firman Allah SWT maupun hadist Rasullah SAW diatas, seorang pejabat pilihan rakayat baik legislatif maupun eksekutif dituntut untuk melayani rakyat secara optimal. Apalagi jika yang bersangkutan telah mengumbar janji-janji sebelumnya.
Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah SAW tersebut juga dapat dijadikan bahan renungan dan pelajaran bagi kepala daerah maupun calon kepala daerah, untuk berhati-hati mengeluarkan janji saat kampanye atau sosialisasi, karena janji tersebut bukan saja ditagih oleh rakyat tetapi juga dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Janji seorang pemimpin atau wakil rakyat yang tidak ditepati, secara sosial politik juga akan mengurangi kepercayaan rakyat. Lebih dari itu, mereka kemungkinan besar tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.
Dapat dijadikan contoh sikap hidup Imam Ali bin Abi Thalib yang selalu berfikir dan bertindak mendahulukan kepentingan rakyat. Imam Ali tidak pernah makan kenyang sebelum seluruh rakyat yang dipimpinnya tidur dengan perut kenyang. Sebuah sikap yang kini langka ditemukan pada kebanyakaan pemimpin dimanapun.
Begitu pula Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Sahabat Rasulullah SAW ini meminta rakyat mematuhinya jika ia patuh pada Allah dan Rasul-Nya. Ia minta rakyat mengkritik dan mengingatkannya atas tanggungjawab yang ia emban, sehingga potensi menyimpang bisa diminimalisir. Tidakkah sekarang kita sulit menemukan pemimpin yang terbuka menerima kritik dan saran rakyat?
Semoga para pemimpin dan calon pemimpin yang bersiap menghadapi Pilkada tidak mudah mengumbar janji manis, karena hasrat memenangkan pemilihan. Semoga Ramadan kali ini mampu membentuk sikap jujur dan tidak ternodai janji-janji yang (mungkin) akan diingkari, hanya karena kursi. ***

Palu, 19 Juni 2015 M/2 Ramadan 1436 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM