Mau Untung Malah Buntung


Oleh : Temu Sutrisno

Kejahatan bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!. Masih ingat pernyataan Bang Napi dalam sebuah program tayangan televisi nasional ini? Hampir seluruh rakyat Indonesia, saya yakin mengetahui dan mengingatnya. Pernyataan Bang Napi tadi, dalam konteks melaksanakan puasa di bulan Ramadan juga bisa dijadikan ungkapan atau idiom yang hampir sama. Tidak puasa (bagi ummat Islam) bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan!
Sebelum Ramadan dimulai, ummat Islam menaruh harapan warung makan, restoran dan tempat hiburan tidak beroperasi, utamanya pada siang hari. Malah pemerintah telah mengeluarkan edaran tentang hal itu. Satu, dua hari, warung dan restoran tutup. Hari-hari berikutnya dengan cara malu-malu dan bahkan mulai terbuka, tempat penyedia makanan itu beroperasi. Selepas pekan pertama Ramadan, sudah tidak terhitung penyaji makanan buka disiang hari, secara terang-terangan pula. Bisa jadi pemilik warung, kedai atau restoran tersebut orang muslim. Nah, dalam konteks inilah, pemilik warung dan restoran memberikan kesempatan bagi orang tidak berpuasa. Tentu permakluman bisa diberikan, jika warung itu khusus melayani ummat atau orang yang tidak diwajibkan berpuasa karena alasan syar'i. Jika sekadar nengejar untung karena alasan bisnis, meminjam istilah hukum, pemilik warung patut dikenakan pasal turut serta memfasilitasi orang tidak berpuasa.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tidak melarang ummatnya untuk berniaga. Namun Islam memiliki aturan atau etika bisnis tersendiri. Tidak sekadar mencari untung dengan menghalalkan segala cara, termasuk ‘memprovokasi’ orang untuk tidak berpuasa. Orang Islam pemilik warung mestinya hati-hati dalam hal ini. Jangan keinginan meraup untung malah membuatnya buntung (di mata Allah SWT). 
Allah SWT sudah menjanjikan melalui Q.S. Al-An’am:160, yang artinya: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. 
Sekadar perenungan, kita bisa belajar dari sahabat Rasulullah SAW, Abu Darda dalam berniaga atau berbisnis. Ia dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tapi hidupnya sangat sederhana. Ia salah seorang sahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi sahabat Nabi yang lain. 
Abu Darda, pada awalnya seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu, masuk Islam karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu. Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT”. 
Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akhirat. 
Secara matematis, mungkin saja kita untung berjualan setiap hari. Sangat mudah menghitung keuntungan itu. Namun hitungan itu perlu diikuti pertanyaan lanjutan, benarkan keuntungan itu membawa berkah? Tidak merasa berdosakah kita menyiapkan makanan dan memberikan kesempatan pada orang-orang yang seharusnya puasa, berpuas diri dengan tidak berpuasa di bulan Ramadan? 
Padahal, jika kita berharap berkah-Nya, tidak perlu kita membuka warung, kedai atau restoran kita dari pagi. Kita bisa membukanya saat sore menjelang buka puasa. Ini lebih etis dan berkah, ketimbang membukanya dari pagi. Toh keuntungan yang didapat, belum tentu berselisih banyak. 
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. 
Hal ini karena bisnis dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam. 
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi, juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika orientasi bisnis dan upaya investasi akhirat, maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Stetemen ini secara tegas di sebut dalam Al Quran surah Ash Shaff ayat 10-13. “Hai orang orang yang beriman, maukah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?. Beriman kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjuang di jalan Allah dengan hartamu dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa dosamu dan memasukkanmu kedalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai sungai dan tempat tinggal yang baik didalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan ada lagi karunia yang lain yang kamu sukai yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang orang yang beriman”.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM