Pelepasan Kawasan Hutan Produksi di Buol

AKANKAH MASUK JERAT KPK?


MERCUSUAR-“That's not acceptable di mata KPK,” tegas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengkritik pelepasan kawasan hutan produksi yang dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit milik PT Hardaya Inti Plantation (HIP) di Buol. Akankah ketegasan Laode M Syarif ini berujung pada jerat KPK, untuk orang-orang yang diduga melanggar peraturan pelepasan kawasan hutan produksi untuk perkebunan sawit?

Bupati Amran dijatuhi hukuman tujuh tahun enam bulan
oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta. 
Bukan tanpa dasar Laode M Syarif, tegas menyatakan itu tak bisa diterima (that's not acceptable). Izin prinsip pelepasan kawasan tersebut, diduga bermasalah secara hukum. Masih lekat diingatan masyarakat Sulteng, Jumat (6/7/2012) Bupati Buol kala itu, Amran Batalipu dicokok KPK di kediamannya, karena dugaan gratifikasi atau menerima suap kepengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit, yang melibatkan PT HIP/PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM).

Senin (11/12/2013), Bupati Amran dijatuhi hukuman tujuh tahun enam bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta. Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap.
Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol.
Di sidang terpisah, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman penjara dua tahun delapan bulan serta denda sebesar Rp150 juta.
Pelepasan kawasan hutan tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Surat Keputusan KLHK tertuang dalam SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018. Pelepasan ini, bertentangan dengan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang dikeluarkan tanggal 19 September 2018.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan
hukuman penjara dua tahun delapan bulan serta denda sebesar Rp150 juta.
Penundaan tersebut diberlakukan bagi permohonan baru, permohonan yang telah diajukan namun belum melengkapi persyaratan atau telah memenuhi persyaratan namun berada pada kawasan hutan yang masih produktif, atau permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip namun belum ditata batas dan berada pada kawasan hutan yang masih produktif.
Penundaan dikecualikan untuk permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami dan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sebagaimana bunyi diktum Kedua poin 2 Inpres tersebut.
Presiden menginstruksikan Menteri LHK untuk melakukan evaluasi terhadap pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit yang belum dikerjakan/dibangun, masih berupa hutan produktif, dan/atau terindikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan atau tukar menukar dan dipindahtangankan pada pihak lain.

Melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018 itu, Presiden menginstruksikan Menteri Pertanian untuk melakukan evaluasi terhadap proses pemberian Izin Usaha Perkebunan dan pendaftaran Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, dan yang telah diterbitkan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit atau izin usaha perkebunan untuk budi daya kelapa sawit untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling kurang 20% dari total luas areal lahan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

Adapun kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Presiden menginstruksikan untuk melakukan evaluasi terhadap kesesuaian HGU perkebunan kelapa sawit dengan peruntukan tata ruang, realiasasi pemanfaatkan HGU perkebunan kelapa sawit, peralihan HGU kepada pihak lain tanpa pendaftaran BPN, dan pelaksanaan perlindungan dan/atau pembangunan areal hutan yang bernilai konservasi tinggi (HCVF) dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Melalui Inpres ini pula, Presiden menginstruksikan Menteri ATR/Kepala BPN untuk melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan hak masyarakat seluas 20% dari pelepasan kawasan hutan dan dari HGU perkebunan kelapa sawit. Presiden juga menginstruksikan Menteri ATR/Kepala BPN untuk melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit rakyat.

Bupati Buol Amirudin Rauf, secara tegas menolak pelepasan hutan tersebut. Amirudin beralasan pihaknya sudah memasukkan lahan seluas hampir 10.000 hektar tersebut dalam tata ruang Kabupaten Buol. Kawasan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai kawasan cadangan pangan daerah dan daerah resapan air. Amirudin curiga ada pihak yang bermain, sehingga keluar putusan Menteri KLH.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, Nahardi menjelaskan pelepasan yang diajukan PT HIP bukan permohonan baru. Melainkan kelanjutan dari permohonan lama telah diproses sejak tahun 1997-1998.

Menurut Nahardi, kewajiban tata batas ulang sudah diselesaikan tahun 2017 yang ditentukan oleh 12 panitia tata batas lewat berita acara 4 Mei 2017 yang ditanda tangani oleh dirinya di Palu, yang kemudian disahkan oleh Menteri KLH.

Selain dirinya, ada beberapa pejabat yang turut mendatangani berita acara tersebut, yakni Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan XVI Palu Hasriani Samal sebagai Ketua Panitia merangkap anggota. Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dishut Sulteng, Pepi Saeful sebagai Sekretaris merangkap anggota. Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu-Poso, Titik Wurdiningsih. Terakhir, Kepala Balai Pemantauan Hutan Produksi wilayah XII Palu, Agus Heri Susanti sebagai anggota.

Dari 12 panitia, terdapat pejabat Pemkab Buol, yakni Kepala Badan Perencaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Buol, Khayat sebagai anggota, Kepala Kantor Pertanahan Buol, Indra Jaya Ali sebagai anggota. Terakhir kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pogogul, Nuruddin sebagai anggota.

Selain itu, Camat Tiloan, Abubakar Al idrus sebagai anggota. Kemudian, Camat Bukal, Kasim Botudidi sebagai anggota. Selanjutnya Camat Bokat, Martin Lamaka sebagai anggota. Terakhir, Camat Bonobogu, Husein sebagai anggota.

Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan kewenangan Kementerian berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. “Segala putusan diserahkan kepada Kementerian. Kita tinggal mematuhi saja,” ujar Gubernur Longki seperti dikutip Kepala Biro Humas Pemprov Sulteng Haris Kariming, dalam siaran persnya.
Kini, masyarakat Sulteng menunggu babak baru dari polemik pelepasan hutan ini. Akankah kecurigaan Bupati Buol benar, ada oknum yang bermain api? Akankah KPK kembali menjerat oknum terkait pelepasan hutan ini, sebagaimana proses awal izin prinsip yang membuat Bupati buol kala itu Amran Batalipu dan pemilik PT HIP/CCM Hartati Murdaya ke balik jeruji besi? Masyarakat menunggu langkah KPK, tidak berhenti pada kata that's not acceptable. TMU










Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM