Tonakodi-Gila Memilih (orang) Gila

Oleh: Temu Sutrisno


Ada pameo yang kerap didengar di tengah masyarakat, orang bekerja kalah oleh orang yang beruntung, orang beruntung dikalahkan oleh orang yang berani, orang berani dikalahkan oleh orang yang nekat, dan orang nekat dikalahkan oleh orang gila.
Kini, sepekan terakhir kalimat ini kembali mencuat gegara Komisi Pemilihan Umum (KPU) berniat melakukan pendataan orang yang mengalami gangguan mental. Data itu tentu saja akan dijadikan salahsatu rujukan untuk daftar pemilih dalam Pemilu.
Tak ayal, masyarakat terjebak pro kontra. Alih-alih mendudukan permasalahan berdasar landasan hukum yang berlaku atau menelusuri alasan dibalik KPU melakukan pendataan, masyarakat yang sudah terbiasa berpikir biner sejak empat tahun belakangan, mengumbar rasa curiga pada KPU.
Sejatinya, perdebatan hak penyandang gangguan mental telah selesai saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutus gugatan uji materi Pasal 57 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, Kamis (13/10/2016) lalu. MK berpendapat ketentuan frasa "tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya" dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen, dengan ketentuan surat atau pernyataan dari profesional bidang kesehatan jiwa.
Tonakodi tidak mau terjebak pada pro kontra itu. Mendata penyandang gangguan mental dan mengklasifikasi tingkatan gangguan mental, untuk selanjutnya digunakan acuan hak pilih adalah tugas penyelenggara pemilihan atas perintah Undang-Undang.
“Berikan kesempatan KPU dan ahli jiwa untuk merumuskan dan membuat klasifikasi gangguan mental, karena itu perintah Undang-Undang. Jangan samaratakan gangguan mental dengan gila. Kita tidak punya ilmu membuat kesimpulan seperti itu,” kata Tonakodi pada teman diskusinya, Toma Yojo.
“Tabe le Tonakodi, bagaimana mungkin orang yang tidak ingat dirinya diberi hak memilih. Agama saja membebaskan mereka dari kewajiban hukum,” timpal Toma Yojo.
Benar. Dalam agama (Islam), ulama mendefenisikan gila sebagai, hilangnya kemampuan akal untuk memahami suatu peristiwa hukum. Gila, bisa karena sejak lahir yaitu anak-anak yang terlahir dengan cacat mental. Atau, mereka yang menjadi gila setelah dewasa. Lalu, apa akibat hukum atas orang yang gila setelah dewasa?
“Rasulullah telah memberikan semacam acuan terkait hukum orang gila. Beliau bersabda,  Diangkat kewajiban atas tiga kelompok: orang tidur sampai dia terbangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai dia waras,” kata Tonakodi.
Para ulama sepakat bahwa orang gila tak punya kewajiban salat, membayar zakat dan lain-lain kewajiban yang disyariatkan. Hal itu karena hilangnya kemampuan akal, untuk memahami perintah salat dan perintah syariat lainnya. Dalam bahasa hukum, disebut tidak cakap.
“Menurut saya, yang aneh itu kalau orang yang mengaku waras memilih orang gila. Itu baru gila! Olehnya pemilih harus pintar-pintar memilah dan memilih mereka yang benar-benar waras. Paling tidak, meminjam bahasa hukum mereka cakap sehingga layak dipilih. Demokrasi sejatinya juga ajang meneguhkan kewarasan bagi pemilih dan yang akan dipilih,” lanjut Tonakodi.
Toma Yojo manggut-manggut mendengar Tonakodi. “Tonakodi, memang ada calon yang tidak cakap?” tanya Toma Yojo.
“Cakap atau tidak biar rakyat pemilih yang menilai. Pemilihan ini bisa jadi bukti, apakah benar  atau tidak pameo orang bekerja kalah oleh orang yang beruntung, orang beruntung dikalahkan oleh orang yang berani, orang berani dikalahkan oleh orang yang nekat, dan orang nekat dikalahkan oleh orang gila,” sahut Tonakodi.***

Tana Kaili, 22 Nov 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM