Tonakodi-Utang Piutang

Oleh: Temu Sutrisno
SEBULAN terakhir di negeri Tonakodi, orang sibuk membincang utang piutang. Mulai dari kelonggaran, pemutihan hingga istilah penghapusan utang mencuat dalam setiap perbincangan masyarakat. Force major karena bencana, menjadi pemicu perbincangan utang piutang.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke neraka.

Islam memuji orang yang menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar tunai, lalu memberi kelonggaran dengan berutang. Rasulullah SAW bersabda, “Bahwasanya ada seseorang yang meninggal dunia lalu dia masuk surga, dan ditanyakanlah kepadanya, ‘amal apakah yang dahulu kamu kerjakan?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya dahulu saya berjualan. Saya memberi tempo (berutang) kepada orang yang dalam kesulitan, dan saya memaafkan.” (HR. Muslim)

Suatu hari sahabat Rasulullah SAW, Thalhah berutang lima puluh ribu dirham pada Utsman bin Affan. Sampai suatu saat, Thalhah telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan dan menemui Ustman di masjid. Setelah di luar masjid, Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!” Namun Utsman menjawab, “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga martabatmu”.
Kisah lainnya, Qais bin Saad bin Ubadah  merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya, “Mereka malu dengan utangnya kepadamu.”
Qais pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!” Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan, “Barangsiapa yang mempunyai utang kepada Qais, maka dia telah lunas.”

Tonakodi berfikir, dua kisah tersebut menunjukkan betapa mulia para sahabat Rasulullah di awal penyebaran Islam dalam bermuamalah. Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasih dari yang mengutangkan.  Dengan demikian orientasi pemberian pinjaman didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Islam tidak membenarkan tujuan belas kasih, dikotori dengan mengambil keuntungan di balik kesusahan yang berutang.
Menghapus utang sebagaimana Ustman dan Qais merupakan contoh, salah satu penyelesaian utang piutang dalam Islam. Selain itu, Islam juga mengajarkan, agar pemberi utang memberi kelonggaran pada orang yang berhutang.
“Jika para pemberi utang itu mengikuti ahlak para sahabat Rasulullah, betapa berbahagianya orang-orang yang punya utang di negeri ini. Bukan hanya kelonggaran, mereka bersedia mengihlaskan piutangnya. Luar biasa,” batin Tonakodi.

Ya, sahabat Rasulullah saling membantu dilandasi niat baik, dilandasi iman. Bahkan mereka yang berutang, melakukannya karena benar-benar terpaksa, karena keperluan mendesak. Mereka yang memberi utang, juga dilandasi iman. Kedua pihak ingin ridha Allah SWT, bukan riba dunia.

Tapi….kondisi itu rasa-rasanya berbeda dengan mereka yang berutang karena gaya hidup. Seringkali orang berutang di luar kemampuan, hanya karena memenuhi tuntutan gaya hidup, pakaian dan perhiasan berkelas, rumah mewah, mobil kelas wahid, dan life style lainnya.

“Ahh….entahlah. Allah lebih tahu apa yang terjadi. Allah lebih tahu apa yang ada di hati setiap anak manusia.” ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM