Tonakodi-Roderic; Raja Pemukul Rakyat


Oleh: Temu Sutrisno
RAJA Roderic, penguasa Andalusia awal abad ke-8 M dikenal sebagai pemimpin otoriter, mengabaikan toleransi, dan paling senang menghukum rakyatnya.
Pada masa kepemimpinan Raja Roderic kondisi Kerajaan menjadi tidak kondusif karena ia dikenal sebagai penguasa yang tidak toleran terhadap kebhinekaan, keanekaragaman agama dan kepercayaan masyarakat Andalusia. Raja Roderic kerapkali mempertontonkan kekuasaannya dengan menghukum rakyat di depan umum. Perintahnya adalah kebenaran dan hukum kerajaan.
Keadaan demikian memicu munculnya konflik, penderitaan, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi akibat ketidakadilan, serta tertindasnya masyarakat kelas bawah dan masyarakat yang tidak sefaham dengan kerajaan. Keadaan menjadi lebih tidak kondusif dengan dibuatnya kebijakan ekonomi kerajaan yang membiarkan tanah-tanah tidak digarap, pabrik-pabrik ditutup secara sepihak dan sarana transportasi tidak mendapatkan perhatian. Hal ini memicu lumpuhnya ekonomi masyarakat.
Pemerintahan Raja Roderic menjadi kacau setelah adanya perebutan kekuasaan antara dirinya dengan keturunan Witiza dan Ratu Julian. Sekira tahun 710 M Raja Visigothik pada waktu itu Witiza dikudeta oleh Roderic, dan Roderic menodai puteri Julian, gubernur Ceutia, Afrika Utara. Konflik tersebut ditambah dengan kebijakan politik Raja yang otoriter serta sering membuat keputusan yang sepihak.
Singkat cerita, akhirnya Raja Roderic tumbang.
Kisah Raja Roderic, sejatinya menjadi pelajaran bagi setiap penguasa agar tidak berlaku lalim. Menghakimi dan menghukum orang secara tidak adil bukan saja menimbulkan sikap antipasti masyarakat, tetapi juga menginjak nilai kemanusiaan. Apatah lagi jika seorang penguasa memukul rakyatnya, hanya karena alasan urusan diri dan keluarganya terganggu.
Perilaku penguasa seperti itu, merusak tatanan hukum, menabrak etika pejabat, dan menodai nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban.
Di era modern, dalam sebuah negara hukum, setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). Dalam konteks Indonesia, perlakuan yang sama di depan hukum diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepstian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Maskud dari ayat di atas adalah setiap warga negara berhak mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Setiap warga negara berhak untuk mendapat perlakuan dihadapan hukum yang adil dan sama untuk semua warga negara tanpa ada perbedaan sedikitpun.
Tidak boleh ada hukuman diluar proses hukum. Oleh karena itu, tidak boleh ada orang main hakim sendiri, hanya karena merasa dirinya terusik. Orang-orang yang main hakim sendiri, siapapun dia dan apapun kedudukannya, harus diperhadapkan dengan hakim yang sesungguhnya, untuk mendapatkan hukuman.
Hukuman harus melalui proses hukum. Tidak setiap orang boleh menghakimi, karena menjadi hakim ada pendidikan dan prosedurnya. Bahkan seorang penguasa, pejabat, atau guru besar hukum sekalipun, tidak serta merta bisa jadi hakim dan menghakimi orang lain. ***

Tana Kaili, 27 Desember 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM