Tonakodi-Reagan, George Weah, dan Hanifan

Oleh: Temu Sutrisno




MENJAGA kedamaian Liberia sekaligus mengentaskan kemiskinan. Itulah dua program prioritas George Weah saat terpilih sebagai Presiden Liberia Desember 2017.  Mantan pemain sepak bola terbaik dunia 1995 memenangi 12 dari 15 daerah pemilihan di negara Afrika Barat tersebut. Lawannya dalam pemilihan, Joseph Boakai, adalah wakil presiden dalam 12 tahun terakhir, hanya mendapatkan dua suara. George Weah  menggantikan Ellen Johnson Sirleaf sebagai presiden Liberia, dalam transisi demokratis pertama negara tersebut sejak 1944.
Weah, sebagai mantan pesepak bola, saat naik tampuk pemerintahan tidak serta merta menjadikan bola sebagai kiblat. Weah sadar, masyarakat Liberia tidak membutuhkan sepak bola. Masyarakat lebih membutuhkan kedamaian. Situasi yang kacau setelah terjadinya kudeta yang dilakukan oleh pihak militer sejak 1980 sampai 2003, menyisakan luka yang cukup mendalam di benak masyarakat Liberia.
Intrik politik yang tak kunjung usai, juga menyisakan ekonomi masyarakat karut marut. Weah bener-benar memahami situasi negaranya. Ia tidak terobesesi dengan masa lalunya sebagai pemain sepak bola.
Jauh sebelum Weah jadi presiden, Ronald Reagan, artis kenamaan Amerika era 40-an lebih dulu banting stir ke politik. Reagan sempat menjabat Gubernur California 1967-1975, sebelum akhirnya menjadi presiden kurun 1980-1989.
Reagan dengan latar film cinta dan cowboy, setali tiga uang dengan Weah. Reagan tidak menjadikan perfilman jadi patron kerjanya. Sadar akan kekurangannya, Reagan mengumpulkan para ahli untuk membangun ekonomi Amerika yang terpuruk, meminjam istilah Paul Harvey, hingga lahirlah Reaganomic.
Kebijakan Reagan sering dikaitkan dengan ekonomi penawaran, biasa disebut ekonomi menetes ke bawah (trickle-down economics) atau ekonomi voodoo oleh para pesaingnya dan ekonomi pasar bebas oleh para pendukungnya.
Reagan tidak terkurung dalam alam pikirannya sendiri. Dia tidak dar-der-dor layaknya cowboy. Kebijakan dan programnya terukur. Dia juga sukses memenangkan perang dingin dengan Soviet. Perang dingin yang menghantui dunia sebagai pemicu perang dunia ketiga, berhasil dia hentikan.
Pemeran The Killers dan Love Is on the Air itu, sebagaimana Weah tidak terkurung dalam alam pikiran seorang artis dan pesepak bola. Keduanya mungkin bukan orang pintar, bukan pemimpin yang mengaku pintar atau malah sok pintar. Tapi pintar mengoordinir dan memanej orang-orang pintar.
Hanifan Yudani Kusumah mungkin bukan orang pintar secara politik. Dia juga bukan seorang komunikator politik atau perdamaian yang andal. Dia hanya atlet pencak silat.  Hanifan berhasil meraih medali emas Asian Games usai mengalahkan pesilat asal Vietnam Thau Linh Nguyen, Rabu (29/8/2018).
Di tengah pola pikir biner mayoritas masyarakat Indonesia, yang terbelah antara dua pilihan Jokowi dan Prabowo, Hanifan hadir menjadi sang juru damai. Hanifan berhasil menyatukan Jokowi dan Prabowo dalam satu pelukan berbalut sang merah putih. Mata Indonesia terbuka, bahwa masih ada damai, masih ada ruh persatuan di sanubari anak negeri.
Daerah ini, daerah di sana dari Sabang sampai Merauke, Indonesia butuh orang seperti Weah yang memahami kondisi masyarakatnya, butuk sosok seperti Reagan yang mau mendengar orang lain, memerlukan sosok seperti Hanifan yang mendamaikan. Bukan mereka yang bangga dengan diri sendiri, keturunan dan nenek moyangnya. Rakyat tidak butuh orang yang terkungkung pada masa lalunya, berselingkuh dengan pikirannya sendiri. Rakyat butuh yang mendamaikan, bukan mereka yang terjebak pada caci maki dan kebencian.
“Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus:12).
“Hai manusia sebarkan perdamaian, berilah makan dan sambunglah silaturahmi, kamu akan masuk surga dengan selamat”. (HR. ad-Darimi).***




Tana Kaili, 30 Agustus 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM