Anomali Ekonomi Sulteng

Oleh: Temu S

Menginjak usia ke-54 tahun, Sulteng mampu menorehkan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Sulteng jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Kondisi tersebut merupakan pencapaian yang menggembirakan. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras gubernur, wali kota, dan bupati bersama jajarannya, serta pelaku bisnis dan seluruh masyarakat Sulteng.
Tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Sulteng mencapai 15,52 persen, di tahun 2016 turun menjadi 9,98 persen, dan di tahun 2017 turun lagi mencapai 7,14 persen. Meski turun, angka pertumbuhan ekonomi terakhir masih tergolong tinggi secara nasional.
Tingginya pertumbuhan ekonomi Sulteng tidak berbanding lurus dengan pengentasan kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng mencatat angka kemiskinan di Sulteng pada September 2017 sebesar 423,27 ribu orang atau 14,22 persen. Angka itu mengalami kenaikan dibanding Maret 2017 hanya berjumlah 417, 87 ribu orang atau 14,14 persen, dengan persentase jumlah penduduk miskin di Sulteng yang berdomisili di pedesaan 15,59 persen dan kemiskinan di perkotaan 10,39 persen. Sementara Gini Ratio sebesar 0,345. Artinya gap ketimpangan relative tinggi.
Tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dipicu tingginya angka pertumbuhan ekonomi Sulteng yang ditopang sektor pertambangan, khususnya komoditas nikel dan gas yang terdapat di dua kabupaten, Morowali dan Banggai.
Sektor pertambangan merupakan investasi padat modal dan teknologi. Sektor ini banyak dikuasai investor asing dan pekerja lebih banyak didatangkan dari luar daerah. Dengan demikian, sirkulasi rupiah lebih banyak lari keluar daerah dan tidak menetes ke masyarakat Sulteng sebagaimana yang diharapkan.
Kondisi ini harus disikapi Pemprov Sulteng. Pemerintah harus menggali sumber pertumbuhan ekonomi baru. Setidaknya, sumber pertumbuhan ekonomi yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dan berdampak langsung ke masyarakat Sulteng.
Penduduk miskin Sulteng saat ini didominasi masyarakat yang bergelut di sektor pertanian dan kelautan. Pada satu sisi, Sulteng juga memiliki potensi besar di kedua sektor ini. Sektor pertanian dan kelautan jika dikelola dengan baik dan benar, memiliki potensi yang besar dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Hal ini dikarenakan ketersediaan bahan baku perkebunan dan perikanan yang relatif melimpah, sehingga tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar.
Namun sayang hingga saat ini, Sulteng belum memanfaatkan dengan baik sumber daya alam tersebut. Selama ini, hasil bumi tersebut dikirim atau diekspor ke luar daerah lain, seperti Surabaya, Makassar, Bitung, hingga Balikpapan dan Bontang dan belum diolah. Dengan kata lain, Sulteng hanya dijadikan daerah pemasok bahan baku mentah bagi industri pengolahan di daerah lain, sehingga yang menikmati nilai tambah dari proses hilirisasi adalah provinsi lain.
Pemprov Sulteng sudah seharusnya memikirkan upaya pengembangan di sektor pertanian dan kelautan. Sehingga, pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan dapat berbanding lurus.
Sulteng kedepan diharapkan mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, inklusif, dan berkelanjutan yang bisa dinikmati masyarakat Sulteng secara merata. Dirgahayu ke 54 Sulteng. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM