Pengentasan Kemiskinan Tanpa Arah



Oleh: Temu Sutrisno

Penanggulangan kemiskinan merupakan program prioritas pemerintahan HB Paliudju-Ahmad Yahya. Program ini turunan langsung dari visi “Sulteng aman, adil, damai dan sejahtera”, yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sulteng 2006-2011. Sudahkan penanggulangan kemiskinan selama tahun 2007, mencapai hasil maksimal? Berikut catatan wartawan koran ini.

Penurunan angka kemiskinan yang dikampanyekan Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD), dari 566.100 jiwa (24,09%) pada tahun 2006 menjadi 557.400 jiwa (22,42%) pada tahun 2007, dinilai banyak pihak meragukan. Karena realitas di lapangan, menunjukan jumlah orang miskin mengalami peningkatan signifikan.
Penilaian tersebut wajar, mengingat tidak adanya definisi dan indikator jelas tentang kemisikinan di Sulteng. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), tidak didapatkan definisi dan indikator kemiskinan. Bahkan saat paripurna pembahasan RPJMD beberapa waktu lalu, Ketua Komisi III Bidang Pembangunan Muharram Nurdin S.Sos. M.Si, secara tegas menyatakan, pemerintahan HB Paliudju-Ahmad Yahya, tidak memiliki blue print pengentasan kemiskinan. Tanpa blue print, program pengentasan kemiskinan lebih bersifat spekulatif. Tanpa konsep, arah dan panduan yang jelas.
Tidak diketahui secara pasti acuan yang digunakan BPMD, sehingga angka kemiskinan Sulteng relatif menurun. Mengacu pada batasan Biro Pusat Statistik (BPS) 2004, kriteria miskin didasarkan pada konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi seperti itu, maka buruh dengan penghasilan Rp 450.000 perbulan sesuai kebutuhan hidup minimum (KHM), dianggap tidak miskin. Batasan itu jauh berbeda dengan Internasional Labour Organization (ILO).
Organisasi buruh internasional itu, menetapkan penghasilan Rp 1 Juta perbulan, sebagai batas kemiskinan. ILO memasukan kebutuhan dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, rekreasi dan kebutuhan lainnya, sehingga dapat dikatakan hidup layak. Batasan ILO ini sedikit diatas United Nation Development Programe (UNDP), yang menyatakan batasan kemiskinan dengan penghasilan US$70 kebawah, atau sekitar Rp 665.000 per bulan.
Kembali ke dokumen RPJMD, kelompok masyarakat miskin yang ada di Sulteng, diperkirakan karena faktor kultural, berupa sikap hidup tidak produktif, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan kerja, minimnya prasarana pendukung dan kurang memadainya dukungan sitem dan kelembagaan sosial, ekonomi dan politik bagi masyarakat miskin.
Mengacu pada hal itu, RPJMD menempuh jalan keluar yang dinamakan tiga pilar penanggulangan kemiskinan, yaitu memperluas kesempatan bagi orang msikin, meningkatkan pemberdayaan orang miskin dan memperkuat ketahanan sosial.
Mengacu pada faktor penyebab dan jalan keluar yang ditawarkan, terlihat bahwa kemiskinan merupakan persoalan ekonomi, sosial-budaya dan politik. Tapi anehnya, prioritas pembangunan daerah dalam hal pengentasan kemiskinan, hanya menyangkut dimensi ekonomi semata.
Terlihat jelas dalam dokumen RPJMD, pengentasan kemiskinan hanya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan dan infra struktur seperti air bersih dan sanitasi, revitalisasi pelayanan keluarga berencana dan keselamatan ibu melahirkan, penanganan gizi buruk serta pemberdayaan ekonomi mikro. RPJMD tidak menyebutkan strategi dalam dimensi sosial-budaya, seperti perubahan sikap hidup. Demikian halnya dengan dimensi politik, sama sekali tidak disentuh.
Ditengah sorotan tidak jelasnya arah program pengentasan kemiskinan, tahun 2008 diperkirakan dana sharing antara APBN dan APBD untuk pengentasan kemiskinan Sulteng, diperkirakan mencapai Rp 22 Miliyar. Lonjakan anggaran untuk pengentasan kemiskinan, dirasakan bukan sebagai jawaban, sebelum ada kejelasan konsep dan arah program. Bisa jadi anggaran sebesar itu, tidak akan menyentuh persoalan mendasar kemiskinan yang ada di Sulteng.
Sekadar perbandingan, pada tahun 2006, BPMD sebagai leading sector penanggulangan kemiskinan, mendapatkan kucuran anggaran APBD sebesar Rp 5.759.524.350,- Dana tersebut tidak sepenuhnya dikucurkan untuk pemberdayaan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial-budaya dan politik. Sebesar 93,82% atau Rp 5.403.677.350,- digunakan untuk membiayai kegiatan aparatur. Kegiatan BPMD lebih banyak pada rapat koordinasi dan pembiayaan sekretariat lembaga.
Demikian pula dalam Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) APBD Perubahan 2007. Penanggulangan kemiskinan dianggarkan Rp 1.798.450.000,- dari Total anggaran tersebut, kurang lebih hanya 6% digunakan untuk biaya langsung, berupa kegiatan bedah kampung, dengan pagu anggaran Rp 100.000.000,- Sisa anggaran sebesar Rp. 1.698.450.000,- digunakan untuk kegiatan pengembangan kelembagaan perlindungan sosial, ekspose percepatan pembangunan, pembangunan pusat pertumbuhan daerah tertinggal dan lain-lain.
Tahun 2007, BPMD mendapatkan kucuran APBD Rp6.856.615.399,- Anggaran tersebut terbagi untuk belanja tidak langsung atau belanja pegawai Rp2.082.150.299 dan belanja langsung Rp4.783.465.100,- Jika dipersentasekan, belanja langsung mencapai 69,76%. Namun jika diteliti lebih dalam, pada anggaran tersebut masih melekat pembiayaan aparatur. Hampir semua program dan kegiatan, terbebani biaya aparatur. Sekadar contoh, program pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dialokasikan anggaran Rp191.640.050,- Anggaran tersebut terbagi untuk belanja pegawai Rp22.380.000,- belanja barang dan jasa Rp143.418.250,- dan belanja modal Rp25.841.800,-
Bukti program penanggulangan kemiskinan tanpa arah, dapat dilihat pada item kegiatan BPMD dalam dokumen penjabaran APBD 2007. Sebagaian besar program dan kegiatan BPMD, tidak bersentuhan langsung dengan pengentasan rakyat miskin. Hanya ada beberapa program yang bertalian langsung dengan penanggulangan kemiskinan, diantaranya pemberian stimulan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA pedesaan dan pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan daratan. Sisanya lebih pada rapat koordinasi dan penguatan kelembagaan. ***

(Berita Mercusuar 18 Desember 2007)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM