Memaknai Peringatan 1 Suro

Oleh: Temu Sutrisno


Peringatan tahun baru Jawa atau 1 Suro merupakan penanda pergantian tahun menurut penanggalan Jawa. Pada 2017 ini tahun Jawa telah berumur 1951 tahun, yang penetapannya dilakukan pada jaman Kerajaan Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M), menggantikan penanggalan Hindu yaitu tahun Saka. Tanggal 1 Suro diperingati tepat dengan 1 Muharram atau Asyuro. Sebutan Asyuro dari bahasa Arab dalam dialek masyarakat Jawa berubah jadi Suro. Ketika itu di masyarakat Jawa, tahun yang menjadi pegangan masyarakat pada zamannya adalah Tahun Saka yang berdasarkan peredaran matahari. Sementara bagi umat Islam sendiri menggunakan Tahun Hijriyah. Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram (Islam). Maka untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari leluhurnya dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Ketika tahun 1555 Saka, Sultan Agung mengganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Bulan pada tahun Jawapun dibuat berbeda, dengan nama-nama Tahun Hijriyah disesuikan dengan ucapan masyarakat Jawa, seperti misalnya Syafar menjadi Sapar, Rabiul Awal atau Maulid menjadi Mulud. Harus diakui, penggabungan peringatan tahun baru ini merupakan kejeniusan Sultan Agung dalam akulturasi budaya lokal Jawa dengan Islam. Sebuah terobasan cerdas dalam metodologi dakwah Islam, yang menempatan budaya sebagai episentrum gerakan dakwah. Di Jawa, tahun baru Jawa diperingati dengan berbagai acara pawai budaya, hingga persembahan segala macam hasil bumi dan buah-buahan yang sarat dengan makna simbol. Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini. Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Selain di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Beberapa orang juga sering mengisi 1 Suro dengan kegiatan ‘Kungkum’ atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air. Tradisi ini masih kerap dijumpai di Yogyakarta. Beberapa kegiatan lain yang juga kerap dijumpai dalam perayaan malam Satu Suro adalah Tirakatan dengan tidak tidur semalam suntuk, perenungan diri sambil berdoa dan Pagelaran Wayang Kulit. Selain itu tradisi 1 Suro juga kerap digunakan untuk ritual ruwatan, atau tradisi pengusiran balak dan sial (Tolak Balak). Perayaan malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta, kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah, penunjuk jalan. Sama dengan perayaan di keraton Surakarta, tradisi 1 Suro juga dirayakan sangat meriah di Kraton Yogyakarta. Disini petugas Kraton mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual Mubeng Beteng ini, siapapun yang mengikuti ritual ini tidak diperbolehkan untuk berbicara. Istilah ini biasa disebut dengan tapa mbisu mubeng beteng (Bertapa tidak bicara sambil keliling benteng). Di beberapa daerah lain, peringatan 1 Suro juga rayakan dengan tirakatan atau selamatan. Sedang bagi umat Muslim, cara menyambut 1 Suro itu adalah untuk berinstrospeksi yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu. Seperti Sulawesi Tengah, peringatan dilakukan dengan cara yang lebih sederhana. Banyak diantara masyarakat Sulawesi Tengah etnik Jawa, memilih pembacaan doa, tahlilan dan atau tumpengan untuk memperingati tahun baru 1 Suro yang bertepatan dengan tahun baru Islam, 1 Muharram. Peringatan 1 Suro merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta bentuk harmoni anatara manusia dengan alam. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung sejak berabad-abad itu, terus terulang dan pada akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan. Namun jika dicermati, tradisi di bulan Suro yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lawan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana asal mulanya (sangkan paraning dumadi), kedudukannya sebagai makhluk (hamba) Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta, sehingga dapat menjauhkan diri dalam upaya mencapai manunggaling kawula gusti, bersatunya makhluk dengan Tuhan. Peringatan 1 Suro, bagi masyarakat Jawa dijadikan medium untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yang sakral karena dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Inilah sebenarnya hakekat kegiatan budaya yang dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Wallahualam Bishshawab.***

Penuli adalah Wakil Sekretaris Paguyuban Ekowandowo Sulawesi Tengah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM