Ombo; Kearifan Lokal Masyarakat Kaili Lestarikan Alam

(Praktik Konservasi Sumberdaya Air di Kelurahan Pantoloan)
Oleh: Temu Sutrisno


PENDAHULUAN
Sumber Daya Air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Seperti tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Air sampai saat ini merupakan sumber daya yang belum tergantikan dalam memberikan dukungan dan kehidupan bagi seluruh mahluk hidup. Sehingga keberadaannya harus dijadikan prioritas utama dalam pelestariannya untuk memberikan kehidupan bagi seluruh mahluk hidup.
Air adalah sumber daya alam yang mutlak diperlukan oleh manusia dan mahluk hidup lainnya, dan mempunyai arti serta peran penting dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Air merupakan sumber daya yang memiliki sifat multi sektoral. Semakin berkembang dan maju tingkat penghidupan masyarakat semakin banyak air yang dibutuhkan, sedangkan jumlah air semakin lama semakin berkurang. Apabila pada mulanya air hanya digunakan untuk kebutuhan minum, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, irigasi, dan transportasi. Dalam perkembangannya air juga digunakan dalam berbagai sektor kehidupan seperti industri, jasa pencucian, dan kegiatan usaha lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut perlu adanya pengembangan daerah pengaliran sungai/wilayah sungai untuk pelayanan penyediaan air masyarakat dan pengaturan, perencanaan, penggunaan air pemanfaatannya di berbagai sektor.
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam, termasuk didalamnya sumber daya air.
Diundang-undangkannya Undang-Undang No 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang mengantikan Undang-Undang No 11 tahun 1974 Tentang Pengairan telah menetapkan bahwa sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sumber dayai air dikuasai oleh negara dan dikuasai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air tersebut, negara menjamin setiap orang untuk mendapatkan pemenuhan air bagi kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.
Selain itu, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak ulayat sepenjang keberadaannya masih diakui, hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini seiring pula dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 

OMBO DI KELURAHAN PANTOLOAN
Masyarakat Kaili di Palu sebagaimana masyarakat di belahan dunia lainnya, juga memiliki aturan adat tersendiri, termasuk didalamnya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Seperangkat aturan tersebut tertuang dalam Atura Nu Ada, yang sebagian besar masih hidup dan bertahan dalam keseharian masyarakat Kaili. Atura Nu Ada merupakan aturan yang bersifat lisan masyarakat Kaili yang terbagi dalam tiga kategori, yakni posumba (ucapan), ampena (kelakuan), dan kainggua (tindakan). Aturan ini diikuti dengan jenis pelanggaran, larangan dan sanksi berupa pelanggaran etika social (Vaya), Larangan (Ombo) dan sanksi (Givu).
Pelanggaran dalam aturan adat Kaili dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni Sala KanaSala Baba, dan Sala MbiviSala Kana merupakan pelanggaran yang dikategorikan berat, sepeti membunuh. Sala Baba merupakan pelanggaran dengan kategori sedang dan Sala Mbivi pelanggaran kategori ringan.
Ombo merupakan larangan yang diberlakukan di dalam masyarakat Kaili berdasarkan kesepakatan bersama antara tokoh adat, pemangku adat, penguasa, dan masyarakat umum. Misalnya, larangan merusak hutan bakau, merusak terumbu karang, mengebom ikan dan lain-lain.
Ombo dalam aturan adat masyarakat Kaili menurut penuturan Ketua Adat Kelurahan Pantoloan Kecamatan Tawaili, Mochsen H. Hasyim dibagi diantaranya untuk menjaga kepunahan tumbuhan dan tanaman, menjaga kepunahan binatang, menjaga kelestarian hutan, menjaga kelestarian habitat dan biota laut, menjaga kelestarian daerah aliran sungai, dan menjaga kelestarian sumber mata air.
Givu merupakan sanksi yang diberikan kepada setiap orang yang melanggar Vaya,  atau Ombo. Givu dalam masyarakat Kaili, dapat berupa Nipali, diasingkan atau diusir dari kampung hingga denda sesuai kesepakatan adat, semisal menyerahkan kambing (tovau) dalam jumlah tertentu.
Mochsen menyampaikan, Kamis (6/4/2017) Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli resmi menetapkan pemberlakuan aturan dan sanksi adat, yang mengatur cara masyarakat dalam memperlakukan alam. Aturan tersebut, dibahas dalam libu nu ada  atau musyawarah adat.
Dalam libu nu ada tersebut, dibahas rumusan aturan (ombo) dan sanksi adat (givu) yang disusun oleh pemerintah kelurahan, lembaga adat, dan lembaga kelurahan setempat. Dari rumusan tersebut, ada empat ombo beserta givu, yang disepakati untuk ditetapkan dan diberlakukan. Pertama, ombo nu tuda-tuda, merupakan aturan berupa larangan bagi pemilik ternak yang ternaknya merusak tanaman (tuda-tuda) milik warga. Aturan tersebut juga berlaku untuk tuda-tuda yang ada di perairan, seperti mangrove (bakau).
Kedua, ombo olokolo, yaitu aturan yang melarang aktivitas perburuan satwa liar yang jumlahnya kian berkurang, seperti tangura dan putia yang hidup di sekitar mangrove dan konae (bangau) serta pipirano (belibis) yang hidup di sekitar Danau Sibili.
Ketiga, ombo ntasi, yaitu aturan yang melarang aktivitas pengambilan terumbu karang dan karang (gusu), karena terumbu karang dan karang ini, banyak di ambil untuk dijual sebagai pengias taman, dijadikan batu pondasi, hingga peresapan septik tank.
Keempat, ombo nu uve, yaitu larangan bagi pemancing di Danau Sibili, untuk menggunakan pukat, yang dikhawatirkan dapat merusak ekosistem danau. Pemancing hanya diperkenankan menggunakan peralatan sederhana di Danau Sibili. Masyarakat Pantoloan juga bersepakat, untuk menjaga vegetasi di sekitaran Danau Sibili, untuk melindungi sumber mata air danau.
Keempat ombo tersebut dikenai sanksi kambing jantan (tovau) yang sudah memiliki tanduk dengan jumlah sesuai kadar pelanggaran.
Upaya pelestarian lingkungan dengan pendekatan adat yang dilakukan masyarakat Kelurahan Panotoloan, beralasan karena potensi kerusakan yang mengancam sumber daya air di daerah itu. Berdasarkan data kajian konservasi sumber daya air Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu 2017, Danau Sibili  memiliki luas 5,38 Ha dengan debit air 5,34 liter/detik. Debit air ini cenderung menurun, saat musim kemarau tiba. Sementara untuk mangrove dan terumbu karang, luasannya mencapai 3,45 Ha dan 3,67 Ha.
Dengan pemberlakukan Ombo, menurut Mochsen, tingkat pelanggaran menurun drastis. Terhitung sejak diberlakukan Ombo bulan April 2017, masyarakat tidak lagi mengambil kayu mangrove dan terumbu karang. Demikian halnya dengan pemancing di Danau Sibili, tidak menggunakan jarring untuk menangkap ikan. Masyarakat hanya menggunakan pancing untuk keperluan menangkap ikan di Danau Sibili.

ASPEK YURIDIS PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS ADAT
Pengelolaan lingkungan dengan pendekatan adat sebagaimana Ombo di Pantoloan, diakui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara konstitusional, Indonesia mengakui hukum adat yang masih hidup dan bertahan di tengah masyarakat. Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal yang sama ditegaskan kembali pada Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Berkaitan dengan konservasi, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak secara tegas menyebutkan pengelolaan secara adat. Undang-undang ini mengatur peran pemerintah yang sangat besar, dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat hukum adat melakukan kegiatan konservasi sumberdaya alam hampir tidak ada. Undang-Undang ini tidak menyebutkan sedikit pun pengaturan tentang masyarakat hukum adat, meskipun mayarakat hukum adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumberdaya alam.
Selanjutnya pengakuan terhadap kearifan lokal dan hukum adat juga diakui dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Pasal tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Peraturan perundang-undangan lain yang mengatur dan mengakui hukum adat diantaranya, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,  dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan yang menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.  
            Sandaran yuridis lainnya terkait peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, pasca Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. MK menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan beberapa pihak lainnya. Pasalnya, beleid itu dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945.
Dengan dibatalkan keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan. 
Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh di antaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Setidaknya, ada lima poin pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Soalnya, selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian lingkungan.
Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan meyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan masa akan datang.
Ombo di Pantoloan dan masyarakat Kaili secara umum, selaras dengan pola pengelolaan alam yang lestrasi dan berkelanjutan. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang, dengan semua benda, daya, keadaaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup sehingga dalam pengelolaannya harus dilakukan secara bijaksana dan terencana dalam pemanfaatannya.
Secara utuh, konsideran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menyatakan :
a.       bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
c.       bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.      bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
Berdasarkan Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dinyatakan, “kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.”
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 yang mengisi kekosongan hukum pasca putusan MK membatalkan 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, dalam konsideran menimbang tidak secara spesifik menyebut keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air. Konsideran yang dimaksud berbunyi:
a.       bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik di bidang ekonomi sosial maupun budaya;
b.      bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat secara adil dan merata;
c.       bahwa pemanfaatannya haruslah diabdikan kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat yang sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial dan kemampuan untuk berdiri atas kekuatan sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila;


OMBO DALAM PERSPEKTIF ISLAM
            Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Kaili, termasuk yang bermukim di Kelurahan Pantoloan. Dalam pandangan penulis, Ombo sebagai pranata pelestarian lingkungan yang berlaku di masyarakat Kaili, semangatnya selaras dengan pengelolaan lingkungan hidup yang diajarakan Islam. Setidaknya ada keselarasan adat dan agama, sehingga tidak melulu harus memperhadapkan adat dan agama.
Islam adalah agama yang sangat memerhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang membahas tentang lingkungan. Pesan-pesan al-Qur’an mengenai lingkungan sangat jelas dan visioner. Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk terbaik di antara semua ciptaan Tuhan (QS. 95:4; 17:70) yang diangkat menjadi khalifah (QS.2:30) dan memegang tanggung jawab mengelola bumi dan memakmurkannya (QS.33:72).
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. 28:77).
Bumi dan semua yang berada di dalamnya pada hakikatnya diciptakan Allah untuk manusia (QS. 2: 29). Segala yang ada di langit dan bumi, daratan dan lautan, matahari dan bulan, malam dan siang, tanaman dan buah-buahan, binatang melata dan binatang ternak semuanya diciptakan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan hidup manusia (QS. 6:141).
Rasulullah SAW memandang alam ini secara integral. Hubungan asasi dan timbal balik antarmanusia dan alam, dilandasi keyakinan bahwa perusakan akan membahayakan keselamatan dunia seisinya. Karena itu, Rasul SAW meletakkan prinsip umum dalam melestarikan lingkungan berupa larangan melakukan perusakan di muka Bumi. Pertama, melarang pencemaran lingkungan. "Jauhilah tiga perilaku terlaknat; buang kotoran di sumber air, di pinggir jalan, dan di bawah naungan pohon." (HR Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Kedua, menjaga kebersihan lingkungan. "Semua amalan umatku ditampakkan kepadaku baik dan buruknya. Aku dapatkan di antara amal kebajikan adalah menghilangkan bahaya dari jalanan dan aku temukan di antara amalan yang buruk adalah membuang ingus di masjid dan tidak dibersihkan." (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Ketiga, melarang melakukan pencemaran lingkungan. "Sesungguhnya Allah itu Mahabaik yang mencintai kebaikan, Mahabersih yang mencintai kebersihan. Oleh sebab itu, bersihkanlah halaman-halaman rumah kamu dan jangan menyerupai Yahudi." (HR Tirmidzi dan Abu Ya'la). Rasulullah juga melarang untuk membuang air kecil dalam air yang tidak mengalir karena akan merusak air itu. (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Keempat, menganjurkan umat manusia untuk menghidupkan lahan mati dan menanaminya dengan pepohonan. "Tidaklah seorang Muslim menanam pohon kecuali buah yang dimakannya menjadi sedekah, yang dicuri sedekah, yang dimakan binatang buas adalah sedekah, yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak diambil seseorang kecuali menjadi sedekah." (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lain disebutkan: "Barang siapa yang menghidupkan lahan mati, baginya pahala. Dan semua yang dimakan burung dan binatang menjadi sedekah baginya." (HR An-Nasai, Ibnu Hibban dan Ahmad).
Kelima, melakukan penghematan energi. Suatu hari, Rasulullah melewati Sa'ad sedang berwudhu dan banyak menggunakan air. Beliau mengkritik, "Mengapa boros wahai Sa'ad?" Sa'ad menjawab, "Apakah ada pemborosan air dalama wudhu?" Rasul menjawab, "Ya, walaupun kamu berada di sungai yang mengalir." (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
            Dalam memanfaatkan bumi, sebagai khalifah manusia tidak boleh semena-mena dan eksploitatif. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, daratan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya dengan menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56: " Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan akan dikabulkan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik".
Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Ombo bisa dimaknai dalam konteks, menjaga lingkungan sebagaimana Al A’raf ayat 56 diatas. Dengan demikian, sekali lagi, upaya pelestarian lingkungan dengan pendekatan adat Ombo selaras dengan ajaran agama, khususnya Islam yang banyak dianut masyarakat Kaili.
Ombo juga upaya menghindari kerusakan lingkungan. Masyarakat Kaili sedari awal menyadari bahwa pengelolaan lingkungan yang keliru bakal berbuah bencana. Hal ini juga selaras dengan firman Allah dalam Al Qur’an, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar".  (QS. ar-Rum: 41).
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memilikinya untuk kepentingan pribadi (ihya'), apalagi merusaknya.
Dalam praktiknya, Ombo menetapkan lahan yang dilindungi sebagai bagian dari kawasan publik yang dikelola untuk kepentingan umum (hima). Danau Sibili, hutan mangrove dan terumbu karang di Kelurahan Pantoloan adalah aset publik yang harus dilindungi dan dikelola secara arif, untuk kepentingan seluruh masyarakat. Mangrove dan terumbu karang, sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang dan pembiakan ikan dan biota laut lainnya. Mangrove juga menjadi benteng pertama penaham gelombang laut yang berpotensi merusak pantai dan permukiman. Upaya pengelolaan secara adat yang dilakukan masyarakat Pantoloan, bukan saja kukuh secara yuridis, namun juga selaras dengan nilai-nilai agama. Semoga Ombo menjadi langkah tepat pelestarian lingkungan di Kota Palu yang beradat dan berbudaya dilandasi iman dan taqwa. Wallahu A'lam Bishawab.***


Penulis adalah Anggota Tim Kajian Konservasi Sumber Daya Air Kota Palu




Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM