Jangan Tanam Kelapa di Pot

Oleh: Temu sutrisno
Sore itu, Toma Langgai tersenyum ceria. Sahabatnya, Mangge Dolla yang tidak ketemu beberapa tahun belakangan mengunjunginya. Mangge Dolla bilang, mumpung ada kegiatan di kota, sekalian singgah silaturrahim.
Duduk di bawah pohon jeruk, Toma Langgai menerima Mangge Dolla dan Iponk sambil memerhatikan si bungsu yang bermain di halaman.
Tidak ada teh, tidak ada kudapan sekadar teman ngobrol. Mangge Dolla enggan masuk ke gubuk Toma Langgai. “Biar jo di sini saja, lebih enak, santai,” kata Mangge Dolla usai salaman dan pelukan.
“Lama betul le, kita te ketemu,” Mangge Dolla memulai perbicangan. “Saya seperti ingin kembali ke sini. Enak, banyak teman-teman,” lanjutnya.
Kenapa mesti pindah ulang ke sini? Di sana kan sudah bagus. Usaha sudah berkembang, timpal Toma Langgai. Kalau mau pindah, jangan balik lagi kemari. Bagus kalau ke kota besar. Di sana mungkin bisa jauh lebih berkembang, saran Toma Langgai.
“Iya le, kadang saya berfikir sepertinya saya bisa bertarung di kota yang lebih besar. Saya hitung-hitung, mestinya saya bisa berpendapatan lebih kalau di sana…..ah, sudah jo nanti dikira sombong,” sahut Mangge Dolla.
Toma Langgai tersenyum dengar ocehan sahabatnya. “Bagi saya itu bukan sombong. Itu obsesi, itu proyeksi atas usaha yang kita lakukan. Dalam dunia usaha itu biasa, malah harus ada obsesi untuk berkembang. Itu bukan sombong. Dalam dunia usaha, juga dikenal konsep hijrah. Hijarh itu bukan sekadar pindah tempat, tapi substansinya bagaimana potensi bisa berkembang. Potensi spiritual, potensi sosial, intelektual, potensi ekonomi bisa dikembangkan dengan konsep hijrah,” cerocos Toma Langgai.
Coba lihat kelapa di pot itu! Tunjuk Toma Langgai. Kelapa itu kerdil karena di tanam di pot. Padahal usianya sudah tahunan. Coba kalau di tanam di pantai atau lahan yang lebih luas, kalau Tuhan kasih kesempatan hidup lalu tumbuh, yakinlah pasti dia tumbuh besar dan tinggi. Pohon kelapa itu bisa lebih produktif. Tidak kerdil seperti di tanam di pot. Artinya apa? Tempat hidup juga menentukan pengembangan potensi kelapa, sama seperti kita manusia.
Mangge Dolla manggut-manggut. “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Itu jelas Allah dalam Al Quran Surat Annisa ayat seratus. Itu yang saya maksud tadi, ada makna ekonomi di balik hijrah. Kalau Mangge Dolla mau hijrah ke kota lebih besar untuk mengembangkan usaha, saya kira bisa belajar dari pengalaman Abdurrahman bin Auf. Saat Makkah sudah tidak lagi memungkinkan untuk pengembangan spiritual dan ekonomi baginya, ia ikut hijrah ke Madinah. Di Madinah, bukan saja spiritual yang berkembang, tapi juga ekonominya. Ia jadi pengusaha muslim jaman Rasulullah yang paling sukses,” beber Toma Langgai.
“Tapi ngomong-ngomong, komiu tidak ingin hijrah juga?” ujar Mangge Dolla dengan senyum manisnya.
“Bukan tidak ingin lagi hijrah. Saya sudah dua kali pindah. Kalaupun ada keinginan, bukan pindah tapi balik ke kampung halaman. Bisa saja saya balik, kalau konsepnya seperti Fathu Makkah. Balik ke kampung untuk jadi pemimpin di sana atau sekadar membagi kelebihan yang ada. Tapi saat ini, biar di sini saja, sambil terus menggembangkan diri,” jawab Toma Langgai.
Sayup-sayup suara adzan maghrib berkumandang di masjid. Mangge Dolla pamit untuk salat di masjid dan silaturrahim ke sahabat lainnya.***
(Palu, 25/5/2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM