MAKAR DAN IMPEACHMENT

Oleh: Temu Sutrisno

Sebulan terkahir, kata makar sangat popular di masyarakat Indonesia. Kata makar menghiasi pemberitaan media mainstream, media sosial, pembicaraan kaum ibu dan komunitas warung kopi.
Makar sangat populer pasca aksi 411, yang melibatkan jutaan orang menuntut kepolisian segera memproses hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta. Presiden, Panglima TNI dan Kapolri merupakan sosok sentral dibalik populisnya kata makar. Ketiga pejabat Negara tersebut sering menggunakan kata makar dan adanya kepentingan politik yang disinyalir menunggangi aksi damai jutaan ummat Islam tersebut. Kata makar makin santer jelang aksi 212.
Kata makar sering kita jumpai dalam literatur bidang hukum dan ketatanegaraan/pemerintah yang memiliki interpretasi perbuatan melanggar hukum pidana seperti pembunuhan juga merupakan aksi penumbangan sebuah pemerintahan oleh sebuah kelompok.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata makar: 1. Makar: akal busuk; tipu muslihat: Contoh: segala akal busuknya itu sudah diketahui lawannya.
Makar dalam arti akal busuk/tipu muslihat adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang berniat negatif terhadap seseorang untuk kepentingan orang atau kelompok yang melakukannya. 2. Makar: perbuatan (usaha) dng maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dsb: Contoh: karena usaha menghilangkan nyawa seseorang, ia dihukum; Makar dalam pengertian ini merupakan tindak pidana (delik) usaha pembunahan/menghilangkan nyawa seseorang. 3. Makar: Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah: ia dituduh melakukan makar. Arti kata Makar yang ketiga ini merupakan usaha menjatuhkan pemerintahan yang sah disebuah negara, biasanya makar dalam pengertian ini dilakukan oleh sekelompok orang yang menyatakan oposisi pemerintah atau lawan politik istilah ini juga sering diklaim subversif atau kudeta yang dilakukan Militer.
Pertanyaan krusial, apakah gerakan aksi damai 411 dan rencana 212 memenuhi pengertian makar diatas? Titik permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah, bagaimana konsep makar dalam bernegara dan bagaimana dengan mekanisme Impeachment berdasarkan konstitusi Indonesia?
Saya melihat, pada prinsipnya aksi 411 merupakan harapan sekaligus penagihan janji rakyat terhadap presiden atau penyelenggara Negara. Thomas Hobbes menghubungkan harapan kepada kontrak sosial dari J.J.Rosseau. Hubungan rakyat dan penyelenggara Negara tersebut berbentuk kontrak sosial. Subtansi kontrak sosial adalah perlakuan adil untuk memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Hobbes mengemukakan, jika rasa keadilan tak mampu dipenuhi oleh penguasa (negara), hak-hak azasi tidak mampu dilindungi, rakyat berhak mencabut mandat yang diberikannya kepada kekuasaan.
Demonstrasi atau dalam bahasa konstitusi menyampaikan pendapat di muka umum, adalah alat sah rakyat untuk menagih hak-haknya dari negara. Dalam UUD NRI 1945, demonstrasi atau penyampaian pendapat di muka umum diperkenankan. Malah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, secara hukum, demonstrasi tidak serta-merta dapat didefinisikan sebagai tindakan makar, melainkan salahsatu instrumen yang sah sebagai alat menagih hak-hak rakyat kepada negara.
Dimana delik makar dalam penyampaian pendapat di muka umum? Ada beberapa pasal dalam KUHP yang berhubungan dengan aspek delik makar. Namun delik formilnya sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Pada delik formil, suatu perbuatan menjadi kejahatan semata karena perbuatan itu disebut oleh UU. Ketika dilanggar, langsung menjadi kejahatan tanpa perlu membuktikan niat jahat (mens rea) dari perbuatan itu. Demonstrasi bukan delik formil, tapi delik materil. Dimana delik materilnya? Delik materiilnya, jika demonstrasi diarahkan untuk makar terhadap Kepala Negara (Pasal 104 KUHP), Memasukkan Indonesia dalam penguasaan asing (Pasal 106 KUHP), menggulingkan pemerintahan (Pasal 107 KUHP), memberontak (Pasal 108 KUHP) atau permufakatan jahat (Pasal 110 KUHP) untuk hal diatas atau pada prinsipnya menjatuhkan kekuasaan yang sah. Menagih janji terhadap penyelenggara Negara (Presiden), sekali lagi bukan berarti dapat dinilai sebagai tindakan untuk menjatuhkan kekuasaan (makar), sebelum dapat dibuktikan delik materiilnya.
Pasal-pasal makar ini pada galibnya sangat multitafsir. Tafsir terhadap pasal-pasal makar sangat subyektif terhadap perlindungan kekuasaan. Pasal ini sejatinya merupakan pasal-pasal karet haatzai artikelen yang dalam sejarahnya dibuat untuk melindungi kedudukan raja/ratu Belanda-melindungi penguasa.
Namun demikian, saya sependapat dengan argumen yang menyatakan perlu definisi jelas mengkritik pemerintahan (penguasa) dengan ujaran kebencian. Kritik bagi saya adalah menyikapi secara kritis program, kegiatan dan/atau kebijakan pemerintah dengan melakukan koreksi secara konstruktif. Kritik seperti ini bukan makar. Demikian halnya mempertanyakan tanggungjawab atau kerja-kerja pemerintah tidak masuk kategori makar.


IMPEACHMENT 
Dalam teori hukum tata negara dikenal dua cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertama, dengan cara impeachment dan kedua dengan cara pemberhentian melalui mekanisme forum peradilan khusus (special legal proceeding).
Dengan impeachment dimaksudkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik. Forum previlegiatum dimaksudkan bahwa penjatuhan Presiden harus melalui pengadilan khusus ketatanegaraan, penekanannya adalah ada pada keputusan hukum. Meskipun didalam UUD NRI 1945 istilah impeachment dan forum previligiatum tidak tercantum secara limitatif, namun maknanya terkandung didalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI1945.
Melihat proses yang ada dalam konstitusi, proses pemakzulan di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah. Untuk pertama kalinya, DPR melakukan penyelidikan dengan menggunakan hak angket. Selanjutnya DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan hak angket. Di dalam Pasal 184 ayat (1) dan (4) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 UU Nomor 27 Tahun 2009, DPR akan membentuk panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut. Proses selanjutnya apabila DPR pada akhirnya menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran maka DPR dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang mana dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Selanjutnya usulan dan pendapat dari DPR tersebut disampaikan kepada MK.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945. Apabila MK ternyata memutuskan bahwa pendapat DPR tersebut terbukti, dalam arti memang telah terjadi pelanggaran hukum yang disangkakan. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres kepada MPR.
Setelah menerima usulan tersebut, MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Sebelum MPR mengambil sikap politiknya dalam sidang Istimewa dengan cara voting maka Presiden dan/atau Wapres diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Berkaitan dengan proses pemakzulan, permohonan DPR yang telah diterima dan didaftarkan di kepaniteraan MK. Maka MK harus memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari. Apabila MK memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran, maka tidak serta merta Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti sejak putusan tersebut dibacakan. Selanjutnya DPR masih menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini, MPR wajib menyelenggarakan sidang istimewa untuk memutus usul DPR dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Namun, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara tegas bahwa Putusan MK harus dijalankan oleh MPR untuk menjadi dasar hukum atas pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berkaitan dengan kedudukan Putusan MK, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur bahwa putusan MK wajib dijalankan oleh DPR. UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 justru mengatur bahwa keputusan hukum oleh MK dijalankan oleh keputusan politik, yaitu keputusan MPR yang diambil dengan mekanisme voting oleh anggota MPR. Keputusan MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Permasalahannya adalah pada pelaksanaan putusan MK. Ketika MK secara hukum telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran, namun mayoritas suara di MPR tidak mendukung pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga suara di MPR kurang dari 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Maka putusan MK tidak bisa dijalankan oleh MPR. Implikasinya Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan.
Keadaan demikian sangat dimungkinkan, mengingat ketentuan di atas dapat menjadi alasan MPR bahwa tindakan yang dilakukan adalah konstitusional, yaitu sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 7B ayat (7) UUD 1945. Suara anggota MPR cenderung dipengaruhi oleh konfigurasi politik. Sehingga walaupun secara hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden dinyatakan melakukan pelanggaran, namun secara politik MPR tetap menghendaki Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan jabatannya.
Mencermati mekanisme Impeachment tersebut diatas, untuk saat ini relatif sulit untuk menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apalagi saat ini Presiden Jokowi, telah berhasil ‘menjinakkan’ parlemen dengan membangun koalisi besar. Pendukung pemerintahan Jokowi menguasai mayoritas kekuatan parlemen. Bukan hanya itu safari politik yang dilakukan Jokowi terhadap pimpinan partai di luar pemerintahan, juga cukup ampuh untuk meredam Impeachment.***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM