ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS




Pengertian Studi Hukum Kritis Critical Legal Studies (CLS), antara lain dapat kita temukan di dalam tulisan yang berjudul Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School. Di dalamnya, antara lain disebutkan:

“Critical Legal Studies (CLS) is a theory that challenges and overturns accepted norms and standards in legal theory and practice. Proponents of this theory believe that logic and structure attributed to the law grow out of the power relationship of the society. The law exists to support the interests of the party or class that forms it and is merely a collection of beliefs and prejudices that legitimize the injustice of society. The wealthy and the powerful use the law as an instrument for oppression in order to maintain their place in hierarchy”.

Dari definisi di atas maka dapat dinyatakan bahwa Studi Hukum Kritis adalah teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standard-standard di dalam teori dan praktek yang selama ini telah diterima. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat.
Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum harus netral dan dapat diterapkan pada siapa saja. Konsep dan wacana yang ideal dalam hukum yang pada akhir-akhir ini hanya dapat dijadikan sebagai pijakan dan cita-cita saja.
Teoretisi postmodern percaya bahwa hukum pada prinsipnya tidak mempunyai dasar yang obyektif dan tidaka ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijaknya hukum. Hukum adalah kekuasaan dan merupakan alat kekuasaan, sehingga kalangan teoretisi postmodern disebut juga sebagai golongan antifoundationalists, yang mempunyai network pemikiran dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Studies.
Gerakan Critical Legal Studies tidak berpijak pada satu model norma tertentu dan tidak pernah bertujuan untuk dapat menemukan model norma tertentu. Gerakan ini mencoba untuk mencermati teori dan praktek hukum yang sepenuhnya antitesis sehingga oposisinya juga tentu memiliki argumennya sendiri. Karena  itu sebagian orang menyebut bahwa gerakan Critical Legal Studies tidak memiliki bentuk hakikatnya tetapi memiliki sejarah.

Sejarah Gerakan Critical Legal Studies.
Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), yang lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang :
  1. pendidikan hukum
  2. pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
  3. kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada
Critical Law Studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konferensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris gerakan Critical Legal Studies dibentuk pada tahun 1984.
Pada koferensi Critical Legal Studies tahun 1974 dibicarakan tentang adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in box) dengan hukum dalam keyataan (law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Latar belakang lahirnya ajaran Critical Legal Studies adalah fokus sentral pendekatan Critical Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untukmmengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan (peter fitzpztrick, 1987: 2).

Konsep Critical Legal Studies
Aliran Critical Legal Studies meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :
1.       Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral
2.       Ajaran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3.       Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan
4.       Ajaran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical Legal Studies menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5.       Aliran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari paham liberal.
Aliran hukum kritis mempunyai pandangan :
  • Hukum mencari legitimasi yang salah
  • Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
  • Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
  • Hukum tidak netral

****

Sebagai institusi pemberi jaminan atas keadilan, hukum sudah hilang daya tariknya dalam alam kesadaran manusia Indonesia saat ini. Paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik jurisprudence kita yaitu paradigma positivisme yang menjadi ”kaca mata” kita dalam membaca hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab masalah-masalah hukum saat ini. Akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula (legalist fallacy). Tetapi hampir tidak ada ahli hukum Indonesia yang berusaha memeriksa dan mengkritiknya, seakan-akan cara pandang yang dikembangkan oleh kaum yuris positivis itu sudah benar dengan sendirinya dan memang sudah tertanam sejak masa kolonial.
Wacana ini menyajikan tulisan-tulisan yang mengulas secara kritis kegagalan aliran pemikiran hukum mainstream paradigma positivisme. Aliran pemikiran ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum yang tergabung dalam Critical Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum Kritis yang selanjutnya disingkat GSHK). GSHK ini mengajak kita untuk melihat secara kritis permasalahan hukum di Indonesia terutama untuk mengajak membebaskan kajian-kajian hukum di Indonesia dari otorianisme kaum yuris positivis yang elitis.
Soetandyo Wignyosoebroto mengulas tentang paradigma yang berkembang dalam  ilmu hukum. Ia melacak geneologis (ilmu) hukum yang berkembang di Indonesia berasal dari tradisi hukum continental eropa, yang lebih dikontrol di bawah academic jurist, melalui paradigma positivisme yang berkembang di Perancis pada dua dasawarsa pertama abad 19. ketidakpuasan terhadap paradigma positivisme mengilhami munculnya (socio) legal studies dengan menempatkan hukum sebagai fenomena empirik. Dan muncul paradigma baru sebagai antitetiknya dalam mempelajari hukum yakni paradigma pasca-positivisme.
Soetandyo menekankan munculnya paradigma hermeneutic, dengan memberikan kebebasan pada pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi eksklusif semata menggunakan paradigma positivisme dan metode logika formal semata. Dengan strategi metodologinya yang ”to learn from the people”, paradigma hermeneutic membuka jalan bagi para sarjana hukum mendapatkan perspektif para pengguna atau pencari keadilan berkenaan dengan makna hukum yang mereka pahami.
Sedangkan dari Ifdhal Kasim, dia membahas tentang paradigma hukum yang dikembangkan oleh kaum kritikal legal studies movement, memberi gambaran detail pada suatu ”school” dari paradigma pasca-positivisme yang telah dipaparkan Soetandyo. Dia juga menggugat dengan sangat tajam dan pedas paradigma positivisme yang menurut mereka hanya memberi justifikasi bagi posisi elite kaum yuris positivis.
Positivisme sebagai aliran faham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya Perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis sebagai suatu objektiva yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.
Alan Hunt, seorang sosiolog hukum Universitas Carleton, Ottawa, Canada, mencoba menawarkan teori hukum rasional sebagai jalan keluar dari sikap gerakan studi hukum kritis dari sikap reaktif mereka sehingga mereka kesulitan untuk mencapai rumusan final mengenai teori alternatif dalam kajian hukum.
John Warwick Montgomery, dengan mengajukan pendekatan hermeneutika hukum, yang membuka wawasan kita tentang problem interpretasi yang sangat komplek, tidak hanya menyangkut tentang pemahaman terhadap original intent dari suatu kontrak atau undang-undang saja akan tetapi juga menyangkut sang penafsir itu sendiri.
Dengan nada yang hampir sama Anom Surya Putra, mencoba melihat praktik perkembangan ilmu hukum di Indonesia yang terjebak dalam logosentrisme hukum.
Critical Legal Studies (selanjutnya disebut CLS) menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya. berbeda dengan kaum legis liberial, gerakan CLS ini memang ingin mengarahkan kritik mereka mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masyarakat atau mempunyai implikasi  praksis. Kalangan CLS ingin mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal relation), tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar itu seperti preferensi-preferensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, dan konteks politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external relation). CLS menuntut pemahamn terhadap kepustakaan fenomenologi, post-struktualisme, dekonstruksi, dan linguistik untuk membantu memahami relasi eksternal tersebut.
Bagi GSHK, hukum adalah sebuah produk yang tidak netral karena disana selalu ada berbagai kepentingan-kepentingan tersembunyi di belakangnya. Teori GSHK sangat bermanfaat terutama untuk menganalisis proses-proses hukum yang terjadi di Amerika. Studi ini mungkin sangat berguna untuk meninjau lebih jauh perkembangan analisis hukum yang mempunyai jalinan-jalinan rumit, yang tidak cukup diuraikan melalui hukum formalisme dan obyektifisme.
Salah satu bentuk paling umum yang dipraktekkan oleh studi hukum kritis adalah dengan membedah konsistensi internal dari sebuah teori, sebuah kesimpulan karakteristik yang berlawanan dengan teori hukum liberal.
Cara mereka dalam mengembangkan diskursus mempunyai watak oposan terhadap jurisprudensi dalam tradisi hukum liberal sehingga sejak awal kehadirannya, gerakan ini mendapat perlawanan dan tentangan keras dari ahli-ahli hukum positivis dan kaum liberal. Dimana inti pemikiran liberal adalah membangun teori tentang pemisahan hukum dengan politik dan otonomi atau netralitas proses hukum.
Menurut teori hukum relasional, ia dapat memberikan tempat yang penting bagi perhatian tradisional atas teori hukum liberal tetapi juga pada saat yang sama memungkinkan untuk mencapai tujuan kritis yang menandai perbedaan antara teori hukum kritis dengan teori hukum liberal.

****

Ada berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu:
  • Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.
  • Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.
  • Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.

Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.
Para penganut aliran Critical Legal Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.
Critical Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.
Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.
Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal studies ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode:
  • Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
  • Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
  • Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES
Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.
Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar erhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang abstrak.
Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.


PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES DI INDONESIA
Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical legal studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya
Pemikiran Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Studies memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan pendapat dari Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal Studies saya kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”.
Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat
Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Cinta di Antara Angkara