Pesan Moral Idul Adha

Hari Raya bagi setiap agama merupakan hal yang spesial. Demikian halnya dengan Hari Raya Idul Adha, bagi ummat Islam. Idul Adha, tidak hanya menempatkan kesucian Tuhan menjadi sentral pengabdian, tapi juga sarat dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral. Idul Adha, bukan sekadar lantunan takbir, tahmid, dan tahlil tanpa makna. Takbir, tahmid, dan tahlil merupakan ekspresi ketakjuban, refleksi kekaguman, totalitas kepasrahan atau peleburan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Ekspresi ketakjuban, refleksi kekaguman, totalitas kepasrahan atau peleburan diri kepada Allah SWT dalam bentuk takbir, tahmid dan tahlil sejatinya memperkaya pengalaman beragama secara individual. Tidak berhenti disitu, Idul Adha yang dibarengi dengan penyembelihan hewan kurban, membawa implikasi peningkatan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Praktik keagaamaan dari spiritualitas pribadi menjelma dalam bentuk aksi sosio-empiris. Dengan demikian, kedudukan agama bukanlah semata-mata cultus privatus-bersifat individual, tapi juga cul¬tus publicus atau bersifat sosial. Banyak pesan moral dari Idul Adha, yang bisa ditelisik dan ditangkap masing-masing orang. Pesan moral Idul Adha diantaranya dengan mengambil hikmah dari tiga tokoh sentral Ibrahim, Hajar dan Ismail. Ketiga tokoh abadi tersebut, masing-masing memerankan nilai-nilai yang Allah SWT hendak kabarkan pada manusia melalui sejarah kenabian secara sosial. IBRAHIM DAN MORAL KETUHANAN Agama syamawi atau agama-agama yang bersumber pada ajaran langit mengakui, bahwa Nabi Ibrahim merupakan bapak ketiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam) yang menjunjung tinggi nilai Tauhid. Keteladanan iman, ketabahan, dan ketakwaan Ibrahim, patut direfleksikan dalam kehidupan modern, bahkan postmodern yang cenderung permissive. Masyarakat modern tampil dengan ciri masyarakat yang serba boleh, melepaskan dan mengabaikan norma-norma agama, nilai-nilai moral dan ketuhanan bisa menengok kembali sejarah Ibrahim yang selalu menempatkan fitrah kemanusiaan sebagai poros tingkahlakunya. Pengabaian nilai-nilai moral dan ketuhanan saat ini telah melahirkan dampak negatif, pemikiran dan perilaku materialistik secara absolut. Walhasil harta kekayaan, kedudukan sosial, keluarga, kekuasaan politik dan ekonomi, diasumsikan sebagai milik dan kepunyaan pribadi secara absolut. Idul Adha menyadarkan manusia, bahwa Ibrahim ingin mengajak seluruh ummat manusia sadar dan kembali kepada fitrahnya dalam beragama. Sosok Ibrahim mengingatkan manusia, agar mengimani keesaan Tuhan dan meyakini kekuasaan-Nya. Manusia tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan kedudukan Tuhan dari seluruh aspek kehidupannya. Konsekuensi pesan moral ketuhanan yang dilakonkan Ibrahim, bahwa segala sesuatu yang menjadi hak milik itu sangat terbatas. Dengan kata lain, dalam term memiliki dan menguasai segala sesuatu di dunia ini, berlaku hukum pemilikan yang nisbi dan relatif. Bahwa semua yang dimiliki manusia sesungguhnya tidak ada yang mutlak dan abadi. Pesan moral ketuhanan mengajarkan, seluruh milik manusia bukanlah kepunyaan yang sebenarnya. Semua yang ada dan dimiliki, bahkan diri manusia sendiri, mutlak kepunyaan Allah SWT. Ibrahim juga mengajarkan arti pengurbanan yang sebenarnya. Ibrahim merupakan figur yang sangat mencintai keluarga, istri dan anaknya. Namun kecintaan itu, tidak boleh melebihi cinta dan ketertundukan pada amar Ilahi. Saat Allah SWT telah menetapkan perintah, hukum dan urusan, sebagai panutan insan bertauhid, Ibrahim melepaskan semua batasan duniawi dan akal kemanusiaan. Ia terserab dalam cintakasih Ilahi. Ibrahim melepaskan ikatan aturan duniawi dan memilih melaksanakan perintah Tuhan, sekalipun harus meninggalkan istrinya di padang tandus dan mengurbankan anaknya. Mungkin, tak akan ada manusia sekelas Ibrahim saat ini. Namun tapak sejarah Ibrahim seakan ingin menuntun ummat manusia, jangan karena goda dunia, Tuhan dicampakkan. HAJAR; KEBESARAN SEORANG ISTRI Rasulullah Muhammad SAW berfirman, jika wanita baik bangsa akan jadi baik. Jika wanita rusak, bangsa juga akan rusak. Sabda Rasulullah SAW ini, mengingatkan seluruh ummat manusia pada sosok Hajar, istri Nabi Ibrahim, saat perayaan Idul Adha seperti saat ini. Hajar dalam sejarah kenabian Ibrahim, menjadi teladan bagi seluruh perempuan di dunia. Hajar memerankan ketabahan seorang istri bagi Ibrahim dan kebesaran seorang ibu bagi Ismail anaknya. Hajar tidak mengeluh saat ditinggalkan Ibrahim di Mekkah, yang saat itu merupakan gugusan gurun tandus berbatu. Ia hanya bertanya, apakah meninggalkan dirinya dan anaknya yang masih bayi merupakan perintah Allah SWT? Ibrahim hanya terdiam, menahan hati dan menguatkan iman ditengah pertanyaan haru istrinya. Setelah tiga kali bertanya, akhirnya Ibrahim mengangguk meyakinkan istri terkasihnya. Hajar pun tunduk, pasrah dan menyakan keimannya pada Allah SWT, meski harus ditinggal di tempat yang tak dikenalnya sama-sekali. Hajar menyontohkan pada seluruh perempuan di dunia, bahwa sukses suami butuh dukungan istri. Hajar menggoreskan tinta emas sejarah kemanusiaan, untuk membangun peradaban dibutuhkan ketegaran dan kemandirian perempuan. Ya, kemadirian perempuan tanpa pemberontakan. Hajar tetap menyayangi Ibrahim dan mendudukkanya sebagai suami yang sangat dihormatinya. Iman dan tauhid, telah membentuk pribadi Hajar. Cintakasih Ilahi akan membimbingnya, meski sang suami jauh dari dekapannya. Hajar yakin, Allah SWT tidak akan menguji hamba-Nya diluar kemampuan yang dimilikinya. Manusia boleh berharap dan berencana, Tuhan akan menjadi penentu akhirnya. Saat bekal mulai habis dan ASI kering, rengekan sang bayi Ismail membuat Hajar bangkit dan memposisikan dirinya sebagai seorang ibu yang bertanggungjawab. Hajar lari diantara Safa dan Marwah untuk mencari air. Berlari dan terus berlari mencari sumber mata air Ia tidak ingin anaknya menderita. Di tengah kehidupan modern, dimana banyak perempuan tidak lagi punya waktu untuk anak-anaknya, Hajar menjadi pengingat pada seluruh perempuan dan ibu di dunia. Asuh dan lindungi anak-anakmu! Pesan Hajar. Ibu adalah guru awal bagi anak-anaknya. Ibu punya tanggungjawab besar mendidik anak-anaknya. Baik buruk sikap dan moral anak dimasa depan, ditentukan peran strategis seorang ibu. Pengorbanannya tidak kalah dahsyat dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Pesan moral penting lainnya adalah tentang ketaatan, tanggungjawab, ikhtiar dan besarnya tawakal serta keyakinan terhadap Allah SWT. ISMAIL; BAKTI ANAK DAN CINTA “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa.” (Q.S.An Nisa’ : 36) Salah satu bentuk taqwa kepada Allah SWT adalah, melaksanakan hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. Dimana hak yang terbesar diantara hamba Allah adalah hak orang tua. Islam telah meletakkan kedua orang tua pada kedudukan yang mulia dan tinggi. Allah SWT telah menegaskan di dalam Al Qur’an bahwa setiap muslim wajib untuk mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Kemudian disertai dengan perintah untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua. Orang tua adalah pembawa berkah dalam kehidupan anaknya. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa keridhoan Allah SWT bersama keridhoan orang tuanya dan kemurkaan Allah SWT bersama kemurkaan orang tua. Ismail di Hari Raya Idul Adha ini mengingatkan semua manusia agar berbakti dan taat pada orangtua. Bakti dan taat merupakan kewajiban anak. Saat Ibrahim menceritakan mimpinya agar menyembelihnya, Ismail dengan tegar dan ikhlas menyambut mimpi ayahnya. “Wahai ayahku sayang, kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau mendapatiku termasuk anak yang sabar”. Kira-kira demikian jawaban Ismail saat Ibrahim mengutarakan mimpinya. Keimanan Ismail pada Allah SWT dan bakti pada ayahnya menjadi contoh bagi seluruh anak-anak muda di dunia. Bukankah di era postmodernisme saat ini, banyak anak-anak yang tidak lagi berbakti pada orantuanya? Banyak anak yang tidak lagi menghormati, bahkan mengabaikan kedua orangtuanya? Ismail juga merupakan simbol sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi untuk menggoyahkan iman. Simbol bagi sesuatu yang dapat membuat manusia enggan menerima tanggung jawab. Simbol bagi sesuatu yang bisa mengajak manusia berpikir subjektif dan berpendirian egois. Adakah anak yang sangat dicintai akan dikurbankan? Jangankan dikurbankan, bahkan sekadar menyakiti, banyak orangtua yang menghindarinya. Ismail sebagai simbol bagi sesuatu yang amat dicintai, boleh jadi kini mengambil bentuk berupa: kekayaan, kendaraan baru, rumah mewah, deposito, jabatan penting, dan sebagainya. Apakah kita sudah siap dan merelakan semua “Ismail-Ismail” itu untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu mencapai ridho Allah SWT? *** Penulis Temu Sutrisno (Palu, 24 September 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM