Siapa Bertanggungjawab Dum Aset?

Hampir tiap tahun, permasalahan aset senantiasa muncul dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI terhadap pengelolaan keuangan dan aset daerah. Permasalahan yang kerap muncul, inventarisasi dan penghapusan aset. Permasalahan aset menjadi salahsatu penentu opini yang dikeluarkan BPK RI mulai dari wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian hingga tidak memberikan opini (disclaimer). Penghapusan aset yang sering jadi sorotan dan berpotensi bermasalah secara hukum, pemindahtangan atau penjualan yang lebih dikenal dengan dum aset. Saat dum aset bermasalah, pihak yang paling disalahkan publik, biasanya kepala satuan perangkat daerah (SKPD) selaku pengguna aset. Malah seringkali kelompok masyarakat melaporkan kepala SKPD pada aparat hukum atas permasalahan dum aset. Benarkan Kepala SKPD sebagai pihak yang harus disalahkan, jika terjadi dugaan penyimpangan dum aset? Kepala SKPD sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara/ daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008, hanya berkedudukan sebagai penguna barang daerah. Terkait penghapusan aset, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) point f, Kepala SKPD hanya mengusulkan pada pengelola barang, yakni Sekretaris Provinsi untuk Sekretaris Kabupaten/kota untuk barang milik kabupaten/kota. Penghapusan Barang Milik Daerah dari daftar Barang Milik Daerah, dilakukan dalam hal Barang Milik Daerah dimaksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. Pasal 52 secara jelas mengatur mekanisme penghapusan aset dalam bentuk penjualan kepihak lain. Secara lengkap Pasal 52 menyatakan, ayat (1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh (a) pengelola barang untuk barang milik negara; (b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur / bupati/walikota untuk barang milik daerah. Ayat (2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh: (a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; (b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati /walikota untuk barang milik daerah. Peraturan Pemerintah tersebut diatas juga dijabarkan secara teknis dengan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang daerah. Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 secara jelas mengatur kewenangan dan mekanisme penghapusan barang daerah. Wewenang penghapusan barang daerah berupa barang tidak bergerak seperti tanah danatau bangunan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah, setelah mendapat persetujuan DPRD. Sedangkan untuk barang-barang inventaris lainnya selain tanah danatau bangunan sampai dengan Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dilakukan oleh Pengelola setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah. Dalam proses penghapusan Barang Milik Daerah, Kepala Daerah membentuk Panitia Penghapusan Barang Milik Daerah yang susunan personilnya terdiri dari unsur teknis terkait. Tugas Panitia Penghapusan adalah meneliti barang yang rusak, dokumen kepemilikan, administrasi, penggunaan, pembiayaan, pemeliharaan/ perbaikan maupun data lainnya yang dipandang perlu. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara dengan melampirkan data kerusakan, laporan hilang dari kepolisian, surat keterangan sebab kematian dan lain-lain. Selanjutnya Pengelola mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Daerah mengenai rencana penghapusan barang dimaksud, dengan melampirkan Berita Acara hasil penelitian Panitia Penghapusan. Setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah, penghapusan ditetapkan dengan Surat Keputusan Pengelola atas nama Kepala Daerah, juga menetapkan cara penjualan dengan cara lelang umum melalui Kantor Lelang Negara atau lelang terbatas dan/atau disumbangkan/diHibahkan atau dimusnahkan. Apabila akan dilakukan lelang terbatas, Kepala Daerah membentuk Panitia Pelelangan terbatas untuk melaksanakan penjualan/pelelangan terhadap barang yang telah dihapuskan dari Daftar Inventaris Barang Milik Daerah. Mengacu pada dua aturan diatas, jelas Kepala SKPD tidak punya kewenangan untuk penjualan atau dum aset. Kewenangan ada pada pengelola (Sekprov atau Sekkab/Sekkot) setelah mendapat persetujuan Gubernur atau Bupati/Walikota. Secara administrasi dan hukum, pertanggungjawaban penghapusan dalam bentuk penjualan (dum) aset, melekat pada pengelola barang dan pihak yang menyetujui, yakni gubernur atau bupati/walikota. Sebagai pengusul, Kepala SKPD yang (biasanya) hanya meneruskan permintaan pegawai di institusi yang dipimpinnya atau pihak lain, tidak punya kewenangan yang bersifat menentukan (eksekusi). Kepala SKPD juga tidak punya kekuatan paksa untuk mengintervensi pengelola barang (Sekprov/Sekkab/Sekkot) atau pemilik barang daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Dengan alur sebagaimana diatur dalam Permendagri 17 Tahun 2007 dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008, dapat disimpulkan Kepala SKPD bukan pihak yang bertanggungjawab dalam pengesahan akhir penghapusan aset daerah. ***(Temu Sutrisno, 5 April 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM