Produk Jurnalistik Berdasarkan Undang-Undang Pers

Oleh: Temu Sutrisno


Sepekan terakhir masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemblokiran beberapa situs media online, yang ditengarai pemerintah sebagai media radikal. Pro kontra terhadap pemblokiran langsung muncul di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat tidak setuju dengan pemblokiran, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan kebebasan pers. Bisa jadi alasan penolakan yang disandarkan pada UUD 1945 ada benarnya. Pemblokiran dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan hak berpendapat yang disahkan UUD 1945. Namun dari sisi kebebasan pers, masih bisa didiskusikan. Pemblokiran dinilai melanggar Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya ditulis UU Pers), dimana dinyatakan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pertanyaan pertama, apakah benar situs-situs tersebut merupakan produk jurnalistik atau kegiatan pers? Kedua, benarkah lembaga yang menerbitkan situs-situs tersebut merupakan perusahaan pers? Kedua pertanyaan ini bisa dijadikan starting point untuk menilai produk jurnalistik dan pempreidelan atau pemblokiran. Tanpa bermaksud menyimpulkan status situs-situs yang diblokir, ada beberapa standar produk jurnalistik yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan UU Pers. Produk jurnalistik berdasarkan ketentuan UU Pers, pertama, wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1). Kedua, berita yang dirilis, atau disiarkan dimaksudkan untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (b). Berita bukan sekadar memenuhi hajat terhadap informasi dan hiburan, namun juga mendidik masyarakat dalam konteks penegakan demokrasi, HAM, hukum dan kebhinnekaan di Indonesia. Ketiga, pers nasional dalam penyajian beritanya dituntut mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar (Pasal 6 ayat c UU Pers). Keempat, produk jurnalistik pers nasional juga wajib memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (e), selain melaksanakan peran pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Standar dasar ini dikuatkan dengan kode etik jurnalistik (KEJ), yang dijadikan panduan bagi jurnalis atau wartawan dalam melaksanakan profesinnya. Terkait dengan pemberitaan, KEJ menegaskan pada Pasal 3, agar setiap wartawan atau jurnalis selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Selanjutnya dalam Pasal 4, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul dan Pasal 8 menegaskan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Dengan menempatkan UU Pers dan KEJ sebagai pedoman produk jurnalistik seperti diatas, siapapun akan dengan mudah menilai dan menempatkan sebuah tulisan, gambar dan atau media sebagai produk jurnalistik atau tidak. Bahasan kedua, soal perusahaan pers. Perusahaan pers penting dibicarakan, karena produk jurnalistik yang diakui UU Pers harus dihasilkan perusahaan atau lembaga pers yang berbadan hukum. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi. Sementara pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia (Pasal 1 ayat 6). Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (2) ditegaskan Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. UU Pers tidak menyebutkan jenis badan hukum yang dimaksud, baik pada Pasal 1 maupun Pasal 9. Menurut hukum, sebagaimana diuraikan Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Bagir Manan dalam tulisannya Badan Usaha Pers (Dewan Pers, 2014), ada beberapa badan hukum yang diakui di Indonesia, yakni Perseroaan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan, BUMN, BUMD dan Badan Hukum Pendidikan. Sejak jaman kolonial Belanda hingga beberapa waktu Indonesia merdeka, selain PT (saat itu namanya Naamloze Vennootschap disingkat NV) yang diatur KUHDagang (WvK) ada juga badan hukum lain yang diatur dalam Indische Bedriifswet (IBW) dan Indische Comptabiliteitswet (ICW). Badan hukum dalam IBW antara lain jawatan perkeretaapian, telegraf dan telepon. Dalam ICW ditetapkan seperti perusahaan air minum. Berdasarkan ini, Commanditer Vennootschap (CV) dan perusahaan pers diluar badan hukum diatas tidak diakui sebagai perusahaan pers yang dimaksud Pasal 1 dan 9 UU Pers. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 9 UU Pers, Dewan Pers juga telah menyusun standar perusahaan pers sebagai panduan.Setidaknya dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tercantun 17 (tujuhbelas) standar perusahaan pers. Standar ini dimaksudkan agar perusahaan pers tumbuh berkembang dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Dari tujuhbelas standar perusahaan pers yang ditetapkan Dewan Pers diantaranya, perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau badan hukum lain, yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Perusahaan pers juga dituntut memiliki komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan mengikuti aturan main yang ditetapkan UU Pers dari sisi pemberitaan dan standar perusahaan pers, maka pers Indonesia tidak bisa dikenakan pemblokiran, pembreidelan, penyensoran dan larangan penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 4 ayat (2). Pertanyaannya, apakah lamam berita yang diblokir memenuhi ketentuan UU Pers? ***


Palu, 6 April 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM