Dewan Perampas (hak) Rakyat

TOMA Langgai hari itu agak sibuk. Ia mempersiapkan segala hal yang mungkin dibutuhkan, dalam kunjungannya ke sebuah negara di ujung benua. Ya, besok Toma Langgai akan keluar negeri, karena ajakan sahabatnya. Sahabatnya mengajaknya menghadiri konferensi internasional aktifis pro demokrasi. Awalnya Toma Langgai menolak ajakan karibnya itu. Ia merasa bukan pegiat demokrasi. Tapi temannya setengah memaksa dengan alasan toma langgai, lebih memahami budaya bangsa-bangsa. Toma Langgai bisa jadi mentor, mengenali karakter peserta pertemuan dari berbagai bangsa. “Kalau itu alasannya, saya lebih tidak siap. Tapi kalau sekadar jalan-jalan, membuka cakrawala mengenal daerah dan bangsa lain, saya mau,” kata Toma Langgai kala itu. “Terserah apa alasannya, yang penting komiu berangkat. Nanti saya yang uruskan paspornya dan tiket. Komiu tinggal berangkat,” sahut La Gode temannya tertawa senang, Toma Langgai mau menemaninya. Paspor, beberapa helai pakaian, kamera, laptop butut, pulpen, buku catatan dan tidak lupa teh daun kesukaan Toma Langggai tidak lupa diatur dalam sebuah tas punggung. Kebiasaan Toma Langgai sejak muda, kemanapun selalu menggunakan tas punggung kecil, simpel. Toma Langgai tidak mau repot dengan tas besar, apalagi koper lazimnya orang-orang bepergian jauh. “Luar biasa indah negeri ini, Alhamdulillah segala puji untukmu Ya Allah atas karunia ini,” ucap batin Toma Langgai dari atas pesawat yang membawanya, keesokan harinya. Guman itu hampir setiap saat terulang, kala Toma Langgai terbang melintasi negaranya nan elok dari ketinggian. Toma Langgai terus mengisi hatinya dengan zikir dan merenungkan nasib bangsanya. Kenapa bangsa besar ini, negara yang kaya raya ini tidak menyejahterakan rakyatnya? Kemana kekayaan alam berlabuh? “Kalau saja koruptor dihukum mati semua, mungkin saja kekayaan bangsa ini bisa diselamatkan. Kalau saja negeri ini tidak bersahabat dengan agen asing, mungkin saja kekayaan negeri bisa didistribusikan untuk kekayaan rakyat. Duh, Tuhan tidakkah Engkau berkenan melahirkan pemimpin yang baik? Tidakkah Engkau berkehendak menutup hati rakyat negeri ini agar tidak memilih wakilnya dan pemimpin yang tidak bermoral, tidak memiliki hati nurani, tidak takut dengan hukum-Mu?” segepok pertanyaan bernada doa meluncur dari lubuk hati Toma Langgai. “Tidak tatidur komiu le?” ucap La Gode memudarkan renungan Toma Langgai. “Belum,” jawab Toma Langgai seraya menyeritakan kegalauan hati dan renungannya. “He...he...Banyak pejabat dan wakil rakyat saja tidak memikirkan rakyat dan bangsa ini. Kenapa komiu serius begitu?” sergah La Gode. Asal tahu saja tukas Toma Langgai, pemimpin dan wakil rakyat itu akan diharamkan masuk surga sebelum mempertanggungjawabkan jabatannya di hadapan Tuhan. Kapan dia tidur nyenyak, makan cukup dan malah kekenyangan. Sementara masih ada rakyatnya yang lapar, tidak bisa tidur nyenyak karena tempat tinggal tidak ada atau tidak memadai, wakil rakyat dan pemimpin jangan bermimpi dapat mencium bau surga. “Saya tidak habis pikir, apakah mereka tidak berfikir sejauh itu? Kenapa masih banyak pejabat di negeri ini yang pola pikirnya hanya menghabiskan anggaran. Sesempit itu orientasinya? Kalau benar begitu, sungguh kita semua diambang kehancuran,” lanjut Toma Langgai. Percakapan dua sahabat terus berlanjut. Tidak terasa, pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Bandara Ibukota. Keduanya pindah pesawat untuk melanjutkan perjalanan ke Negara Ujung Benua. Setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam dan sempat transit di sebuah negara, akhirnya Toma Langgai bersama La Gode sampai di Bandara negara tujuan. Di Bandara mereka dijemput panitia kegiatan dan diantar ke hotel. Malam itu keduanya istirahat, memulihkan rasa penat selama penerbangan. Keesokan harinya, di hotel yang sama Toma Langgai dan La Gode memasuki ballroom untuk konferensi. Setelah serimonial pembukaan dan coffe break selesai, steering committee kegiatan segera melanjutkan acara dengan perkenalan antar peserta konferensi. Satu persatu peserta konferensi mengenalkan diri. La Gode yang mendapat giliran, tidak lupa mengenalkan Toma Langgai sebagai peserta peninjau yang datang bersamanya. Session berikutnya, masing-masing peserta diminta menggambarkan kondisi umum demokrasi di negaranya. Peserta dari Negara Ujung Benua diberikan kesempatan pertama sebagai tuan rumah. Wakil dari Negara Ujung Benua tanpa basa-basi segera memaparkan kondisi demokrasi negaranya. “Kenapa negara kami jadi tuan rumah konferensi ini? Karena kami telah berhasil membangun demokrasi yang baik, setelah sebelumnya terpuruk dalam sistem totaliter,” kata pembuka tuan rumah. Dahulu negeri kami sangat militeristik, meskipun keluar selalu dikampanyekan sebagai negara demokrasi. Militer memiliki posisi yang sangat kuat. Militer jadi alat kekuasaan, atas nama stabilitas bangsa dan negara. Pemerintah sangat dan sangat anti kritik. Siapa mengkritik dianggap melawan dan dituduhkan pasal-pasal subversif. Sikap kritis dianggap melawan kekuasaan. “Kondisi ini berlangsung hingga tiga dasawarsa,” tuturnya. Pada akhirnya, anak negeri resah dan protes terhadap kondisi negara yang tak kunjung baik. Kekayaan hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi merajalela. Kemiskinan dimana-mana, tapi pejabat dan pengusaha gendut-gendut. “Akhirnya rakyat yang dimotori pemuda dan mahasiswa melawan. Semua turun ke jalan. Korban berjatuhan, karena militer di belakang kekuasaan. Tapi kekuatan rakyat menyatu dengan mahasiswa dan kami kaum muda. Pemerintahan despotis tumbang. Transisi demokrasi mulai jalan,” ungkapnya. Namun transisi demokrasi tidak berjalan mulus. Banyak penumpang gelap yang mencoba membelokkan perjuangan rakyat dan mahasiswa. Pada awal demokrasi berjalan, mereka menjadi bunglon dan berada dalam barisan rakyat. Rakyat negeri kami yang santun, hidup tanpa dendam akhirnya mereka manfaatkan untuk mengantarkan mereka sebagai wakil rakyat. “Banyak wakil rakyat dan pejabat dari pusat hingga daerah sebenarnya mereka yang dulu berdiri di belakang pemerintahan depotis, militeristik. Mereka dapat kembali ke kekuasaan, karena rakyat kami rakyat yang santun tanpa dendam dan selalu berprasangka baik. Mereka diterima tobat sosial politiknya, meski kita tahu tobat itu sekadar strategi politik,” terusnya. Kurun pertama menjadi wakil rakyat, banyak regulasi yang dibuat seakan-akan pro rakyat. Salahsatu yang menonjol adalah, pembagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Pemilihan pemimpin yang dulu dikuasai wakil rakyat, diserahkan ke rakyat melalaui pemilihan umum dan pemilihan umum di daerah. “Namun itu tidak berlangsung lama. Satu dasawarsa pemilihan langsung, akhirnya digiring kembali ke pemilihan tidak langsung. Pemilihan pemimpin menjadi kewenangan wakil rakyat. Hak konstitusional rakyat untuk memilih dirampas. Kami para pegiat demokrasi menyematkan nama untuk Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Perampas (hak) Rakyat. Kami saat itu berkomitmen, siapapun perampas kedaulatan rakyat harus dilawan. Kami melakukan pendidikan politik rakyat dan melakukan perlawanan secara hukum,” kata peserta itu panjang lebar. Toma Langgai berbisik pada La Gode, mirip dengan negara kita ya? La Gode mengangguk tanda setuju. Titik balik transisi demokrasi ini lanjut peserta itu, bermula dari pemilihan presiden. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Memenangkan Presiden kalah. Calon Presidennya tidak meyakinkan untuk dipilih mayoritas rakyat. Akhirnya koalisi ini bermetamorfosa menjadi Koalisi Mengguggat Presiden. Partai-partai ini bersama calon presiden yang kalah mengguggat ke jalur hukum, setelah sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai Koalisi Menolak Pemilu. “Kalah secara hukum, koalisi ini menguasai parlemen dengan nama Koalisi Menguasai Parlemen dengan agenda utama menumbuhkan Kekuatan Menjegal (kebijakan) Presiden di parlemen. Pemilihan tidak langsung merupakan produk koalisi ini. Malah Presiden juga diwacanakan dikembalikan pemilihannya melalui wakil rakyat,” paparnya. Rakyat melawan. Kedaulatan rakyat tidak boleh dirampas. Kesadaran merasuki hati dan pikiran rakyat, oligarki partai politik tidak boleh hidup dalam demokrasi. Dengan perlawanan massif rakyat, kekuatan ini tumbang. “Rakyat akhirnya punya catatan, partai politik mana yang memihak rakyat dan mana yang merampas hak rakyat. Ujungnya dalam pemilihan berikutnya, partai-partai yang tidak memihak rakyat ini tidak mampu bicara banyak. Saat ini demokrasi di negeri kami berjalan sangat baik. Pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat tidak tersekat dalam kepentingan kelompok dan partai dalam arti sempit, bahu-membahu membangun negara dengan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat menjalankan tugasnya secara fair dan balance. Kami rakyat, mengontrol dan mengawasi mereka yang duduk di kekuasaan dan dewan perwakilan rakyat,” ujarnya mengakhiri pandangan umumnya yang panjang lebar. La Gode berbisik pada Toma Langgai. Apa yang saya mau sampaikan mirip dengan ini. Kondisinya tidak jauh beda dengan negara kita. Saya setuju dengannya, pendidikan politik harus digiatkan untuk seluruh rakyat. Pun demikian dengan calon pejabat negeri harus dibenahi nalar politiknya dan moralnya, agar tidak terjebak pada kepentingan sesaat, lupa amanah rakyat dan lupa pertanggungjawaban pada Tuhan. Toma Langgai manggut-manggut. Mestinya usai pemilihan pemimpin baik di level pusat maupun daerah, semangat seluruh partai adalah membenahi negara atau daerah dan menyejahterakan rakyat. Agar negeri semakin sukses, semua partai politik, pendukung kandidat dan seluruh rakyat saling bersinergi. “Jangan ada jegal-menjegal. Ini untuk rakyat dan negara, bukan untuk kepentingan kandidat. Apalagi kalau sampai mengubah regulasi, undang-undang hanya untuk melapangkan jalan meraih kepentingan kelompok. Tolong nanti komiu tambahkan ini di forum pandangan umum,” imbuh Toma Langgai. *** Temu Sutrisno Palu,9 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM